Antologi Cerpen Filmis Wastra Grantha Asmaraloka: Kain Nuswantara dalam Kisah

No comments

Alhamdulillah, selalu ada rasa bahagia dan bangga ketika terlibat kembali dalam penulisan buku bersama Elang Nuswantara. Seperti biasa, budaya dan kearifan lokal Indonesia tetap menjadi tema yang diangkat. Dan kali ini, di buku Wastra Grantha Asmaraloka, keindahan kain-kain tradisionallah yang dibingkai. Mana kovernya cantik banget!


Antologi Cerpen Filmis Wastra Grantha Asmaraloka Kain Nuswantara dalam Kisah

Bukan sebuah bacaan yang serius atau cenderung dipenuhi teori, eloknya wastra ini dikemas kekinian dengan menjadikannnya unsur dalam kisah atau cerita. Disajikan cerpen-cerpen yang tak membosankan untuk dibaca, sekaligus menambah pengetahuan kita akan identitas bangsa, warisan para leluhur yang sepatutnya dijaga. 

Karena setiap helai benang yang terajut, menawarkan pesan.


Baca juga: Apa itu Puisi Modern dan Cara Mudah Membuatnya


Judul Wastra Grantha Asmaraloka memiliki makna dalam. Bila diartikan kata demi kata, wastra berarti kain tradisional yang memiliki makna dan simbol, grantha berarti simpul/ikatan, dan asmaraloka berarti dunia (alam) cinta kasih. 


Jadi, antologi cerpen filmis Wastra Grantha Asmaraloka merupakan buah pikir dari 57 penulis yang bicara kisah-kisah kain Nuswantara sebagai pengikat cinta dan kasih kita pada Semesta.


Sebelum membahas lebih banyak mengenai buku ini, saya ingin berterima kasih kepada Buk e Kirana Kejora yang tak putus mementori, merangkul, menyemangati, dan menghujani ilmu kepada kami, para penulis Elang Nuswantara, untuk tetap menyadari peran dalam pelestarian budaya. Terima kasih juga kepada Miya'z sebagai co-mentor, Azkiya Publishing sebagai penerbitdan seluruh tim yang terlibat. Terkhusus untuk sesama penulis yang karya-karyanya mengisi lembar demi lembarnya.


Buku Wastra Grantha Asmaraloka

Judul Buku: Wastra Grantha Asmaraloka

Genre: Fiksi (Antologi Cerpen Filmis)

Penulis: 57 Penulis Elang Merah Wastra

Jumlah Halaman: xiv+390 halaman

Ukuran Buku: 150x210 mm

Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 2025

ISBN: 978-623-475-151-2


Sebagai gambaran terkait kisah-kisah yang dituliskan, saya akan membahas tulisan saya yang berjudul Mengingatmu dalam Helai Tenun. Sebagai bloger yang terbiasa menulis nonfiksi, menghasilkan sebuah naskah fiksi yang hanya berkisar antara 5-6 halaman A4, bukanlah hal mudah. Bahkan sejak proyek antologi ini dimulai, saya sudah berpikir kira-kira mau menulis apa dan wastra apa yang akan diangkat. Ketika ide itu datang, tantangnnya pun berlanjut pada proses menulis yang sudah pasti caranya berbeda dengan nonfiksi.


Tapi, kalau dilakukan dengan sungguh-sungguh, tak ada yang tidak mungkin, bukan? Bahkan untuk pertama kalinya, ini menjadi naskah saya bersama Elang Nuswantara yang tidak ada revisi. Sebelum-sebelumnya, untuk judul saja sampai diganti entah berapa kali. Tulisan saya pun kerap masih terkesan kaku untuk sebuah karya fiksi. Makanya, saya bersyukur sekali dengan kemajuan ini. Setidaknya, kemampuan saya untuk menulis fiksi sudah lebih baik.


Saya yakin, penulis yang lain pun pasti memiliki perjuangannya masing-masing hingga cerpen wastra yang ditulis itu terbit dalam sebuah buku. Mengangkat wastra dalam cerita, bukan berarti tak membutuhkan riset. Namanya saja yang fiksi atau karangan, namun semua yang tertulis harus tetap masuk akal dan benar. Apalagi yang menyangkut budaya, tak boleh sembarangan. Seperti tentang tenun songket bermotif pucuk rebung berwarna merah yang saya masukkan dalam cerpen saya, wastra asal Sumatera Barat. Setiap motif, pemilihan benang, hingga warnanya, punya makna tersendiri.


Cerpen Mengingatmu dalam Helai Tenun karya Novarty

Tenun motif pucuk rebung berwarna emas dengan latar merah, memiliki filosofi alangkah lebih baik manusia hidup dengan mencontoh falsafah bambu.

  • Pucuk rebung yang merupakan bambu muda, bisa diolah menjadi makanan.
  • Setelah menjadi bambu tua, kekokohannya dapat dimanfaatkan sebagai lantai rumah atau bahan bangunan.
  • Menandakan tanaman ini berguna di sepanjang hidupnya dan semua bagiannya memiliki manfaat. Begitulah layaknya manusia hidup di antara manusia lainnya dan berdampingan dengan alam.


Alasan saya mengambil jenis wastra ini karena ingin mendahulukan budaya dari tanah kelahiran saya, yaitu ranah Minang. Dari proses riset, saya menemukan kenyataan masih terbatasnya bacaan atau referensi tentang wastra, terutama untuk wastra yang tidak terlalu ternama. Mungkin ini jugalah yang menambah semangat saya untuk menuliskannya. Harapannya agar semua jenis wastra di Indonesia bisa diabadikan dalam tulisan, sehingga bisa dibaca oleh siapa saja, bahkan hingga generasi mendatang.


Selanjutnya, setelah saya sudah yakin dengan pilihan jenis wastra, saya mesti memasukkannya dalam cerita. Nah, inilah tantangan terberat bagi saya. Mencari ide dan menuliskannya supaya tenun bermotif pucuk rebung itu menyatu dengan alur cerita, tidak terkesan dipaksa diselipkan. Menjelaskan filosofi ini secara to the point dan efektif, mungkin tak terlalu sulit. Apalagi setelah menemukan berbagai sumber acuan. Tapi, kalau membaurkannya dalam cerpen, lain cerita. 


Lagi-lagi, saya menjadikannya kesempatan berlatih. Untuk ke sekian kalinya proyek antologi Elang Nuswantara mendorong saya untuk terus berupaya. 


Di cerpen Mengingatmu dalam Helai Tenun, saya memilih POV baru dari cerpen-cerpen yang lalu, yaitu seorang lansia. Di mana dia tinggal seorang diri karena suaminya telah berpulang ke pangkuan Ilahi dan anak semata wayangnya merantau untuk bekerja. Ketika ingatannya memudar, ia berusaha mengingat anaknya melalui kain tenun songket bermotif pucuk rebung berwarna merah yang menyimpan cerita. 


Sad ending atau happy ending, silakan baca sendiri, ya, hehe. Biar jadi kejutan. Intinya dari cerpen ini, saya ingin menyampaikan bahwa sebagai anak maupun orang tua, kita memiliki batas waktu untuk saling membahagiakan. Apakah batas waktu itu hanya kematian? Jelas tidak. 


"Kau tahu? Kematian bukan satu-satunya perpisahan paling menyakitkan." Itulah esensi cerpen saya yang tertulis di awal buku Wastra Grantha Asmaraloka. Bergabung dengan esensi cerpen-cerpen lainnya yang juga menjadi inti dari kisah yang dituliskan.


Wastra Grantha Asmaraloka berisi 57 cerpen dengan mengangkat 57 jenis wastra

Bila teman-teman membaca, esensi 57 cerpen ini akan memancing rasa penasaran. Soalnya saya merasakan itu. Misalnya esensi cerpen Buk e Kirana Kejora, "Hidup untuk dijalani, bukan untuk dijelaskan. Selaras dalam keberadaan". Saya jadi bertanya-tanya, kisah hidup apa yang diceritakan beliau dalam Syal Jara dari Keisha? Atau esensi cerpen Pak Denny Widya, C.B.C, "Mungkinkah sehelai kain tenun menyimpan rahasia kelam masa lalu?". Saya langsung menerka, pasti ada cerita tentang masa lalu yang tak menyenangkan dalam Jejak Cinta Tenun Buton. Kira-kira, sekelam apa dan apa hubungannya dengan tenun? Padahal judulnya terlihat romantis.


Apa yang diupayakan untuk kebaikan Semesta, yaitu untuk melestarikan budaya melalui tulisan, mengantarkan buku ini pada penjualan terbaiknya. Best seller! Selama masa Open PO, kira-kira 2 minggu, seluruh penulis gencar melakukan promosi ala writerpreneur yang telah dibekalkan. Yang mulanya pemesan hanya 2 atau 3 eksemplar, ada yang melejit hingga 40 eksemplar. Itu hanya dari penulis.

Dalam waktu singkat, Wastra Grantha Asmaraloka best seller


Seperti kata-kata Buk e yang selalu saya ingat, "Jangan pernah hitung-hitungan dengan Semesta."

Niat baik, upaya baik, yang diniatkan untuk kebaikan Semesta, selalu saja ada jalannya untuk membuahkan kebaikan yang lebih besar.  Best seller ini bukan hanya soal angka atau nominal. Namun, kisah-kisah yang mengangkat wastra atau kain tradisional Nuswantara itu telah sampai ke ratusan hingga ribuan pasang mata. Tidak hanya satu jenis wastra, melainkan 57 jenis karena wastra yang diangkat masing-masing penulis berbeda.  


Baca juga: Peluncuran 3 Buku Prosa Budaya Elang Nuswantara, Dikemas Elegan di Perpustakaan Nasional RI


Wastra Grantha Asmaraloka menjadi buku terbaru saya bersama Elang Nuswantara yang tak pernah berkurang keistimewaannya. Ini menjadi perekam jejak juang saya dalam belajar dan berlatih menulis fiksi, yang alhamdulillah semakin ke sini semakin membahagiakan perkembangannya, juga menjadi kontribusi saya dalam melestarikan budaya. Bahkan saya pun bisa sekalian belajar dari cerpen penulis lainnya. 


Buku bukan hanya menambah ilmu para pembacanya, tapi juga penulisnya. 


Bila teman-teman tertarik untuk mengenal ragam dan indahkan wastra Indonesia dalam sebuah bacaan yang ringan dan kekinian, silakan komentar di bawah artikel atau hubungi saya melalui media sosial yang tertaut di sidebar blog, ya. Bila masih ada ready stock, akan segera dikirimkan.


Terima kasih kepada teman-teman yang sudah memesan buku Wastra Grantha Asmaraloka. Selamat membaca dan menjadi salah satu mata rantai pelestarian wastra Nuswantara.

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)