Mata sembap pagi-pagi pas bangun tidur itu ternyata sekarang adalah saya! Nyaris di semua episode drama Korea When Life Gives You Tangerines, ada saja yang bikin nangis. Puncaknya di episode terakhir, benar-benar banjir air mata. Kebetulan nontonnya tengah malam pula. Meresap banget sampai ke relung hati terdalam, hehe.
Makanya, saya ingin menuliskannya di sini, tentang drakor dan untuk pertama kalinya di blog ini. Bukan berupa ulasan, melainkan pelajaran yang saya dapatkan setelah selesai menontonnya. Bagi saya, yang paling istimewa adalah kesuksesannya memberikan berbagai sudut pandang dari beragam tingkatan generasi. Mulai dari anak, orang tua, kakek-nenek, cucu, serta ketika seseorang berganti status karena pertambahan usia.
Baca juga: Tips Mencari Rumah Kontrakan (Berdasarkan Pengalaman)
Kalau judulnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia memang sedikit aneh. Tapi ternyata, ada makna tersendiri lo di baliknya. Sebenarnya film ini memiliki judul Korea Pokssak Sogatsuda yang berarti "Anda Telah Bekerja Keras". Namun, Netflix memilih judul When Life Gives You Tangerines hasil modifikasi dari pepatah When life gives you lemon, make lemonade. Karena di Jeju, latar tempat film ini dibuat, merupakan pemasok jeruk keprok di Korea dengan lahan-lahannya yang sangat luas.
Jadi, judul When Life Gives You Tangerines tetap memberikan makna yang sama sesuai pepatah yang dimodifukasi tersebut, yaitu tetap optimis dan positif ketika diterpa ujian.
Sangat menggambarkan kisah yang penuh perjuangan, di mana Ae-sun dan Gwan-sik tak putus bangkit setiap kali terpuruk di sepanjang hidupnya. Saya sampai membayangkan, kalau hidup saya seberat mereka, belum tentu saya setegar itu. Ujian ekonomi, fisik, mental, sosial, semuanya ada. Namun, justru ujian itulah yang membuat film ini sarat pelajaran hidup.
Berikut 7 pelajaran yang saya dapatkan dari drama Korea When Life Gives You Tangerines. Semuanya bahkan saya ungkapkan berulang kali ke suami saking pentingnya. Bukan berharap dia bisa seperti Gwan-sik, saya cuma ingin bukan hanya saya yang dapat pelajarannya, tapi kami berdua. Begitu pula harapan saya ketika menulis ini, mana tahu pelajaran itu bisa diteruskan.
1. Setiap Orang Menunjukkan Cinta dengan Cara Berbeda
Terkadang kita tidak merasa disayang oleh orang tua, pasangan, atau yang lainnya. Mungkin itu hanya kesimpulan sepihak saja, karena bisa jadi mereka jauh lebih menyayangi kita dari rasa sayang kita pada mereka. Misalnya seperti Gwan-sik yang pendiam, dia lebih menunjukkan cinta pada keluarga dengan perbuatan. "Ayah pikir, ketika Ayah bisa bangun lebih cepat, kalian dapat tidur lebih lama," kata Gwan-sik pada anak perempuannya sebagai jawaban atas pertanyaan kenapa ia selalu menuju laut terlalu pagi.
Begitu pula kisah pemeran lain bernama Bu Sang Gil yang karakternya sangat memancing amarah. Tapi ternyata, dia tak seburuk yang dikira. Ketika menantunya masuk penjara karena dituduh mengambil guci mahal, ia berusaha untuk menangkap pencuri aslinya demi membersihkan nama menantunya tersebut. Alih-alih memberikan uang untuk membebaskan, ia melakukan cara lain yang tak terlihat. Bahkan dia juga sering menunggu istrinya yang belum pulang hingga larut malam secara diam-diam, dan langsung pura-pura tidur ketika sang istri sampai di rumah.
2. Pengaruh Besar Watak Seorang Kepala Keluarga
Gwan-sik adalah suami ter-green flag dan Bu Sang Gil seolah menjadi suami ter-red flag karena sangat sombong dan kasar. Watak ini sangat mempengaruhi bagaimana keluarga masing-masih bertumbuh dan berkomunikasi. Meski selalu diterpa ujian, keluarga Gwan-sik masih terasa hangat. Sedangkan keluarga Bu Sang Gil, sangat tidak harmonis, dingin, dan kerap cekcok. Padahal rezekinya berlimpah.
Kepala keluarga bukan hanya istilah atau sekadar gabungan kata. Kepala keluarga memang menjadi kepala yang menahkodai keluarganya. Ke mana kapal diarahkan, ke sana pula keluarga akan menuju. Salah arah, sekapal akan tersesat.
3. Anak Bisa Merasakan Beratnya Perjuangan Orang Tua Ketika Sudah Menjadi Orang Tua
Relate sekali dengan apa yang saya rasakan setelah menjadi orang tua. Bahkan saya pun juga pernah menuliskan tentang ini dalam artikel singkat berjudul Ketika Kamu Jadi Aku, yang dibukukan bersama tulisan Kang Maman. Ketika Yang Geum Myeong melahirkan anaknya, ia langsung teringat betapa berat perjuangan ibunya, Ae-sun ketika melahirkannya di usia 18 tahun. Begitu pula saat merasakan sendiri bagaimana sulitnya menjadi ibu, sampai-sampai Ae-sun mengatakan, "Tidak ada yang langsung mahir ketika baru menjadi ibu."
Adiknya pun tak jauh berbeda. Eun Myeong melakukan pekerjaan apa pun agar bisa menafkahi anak dan istrinya. Ketika ia begitu putus asa, ia mengatakan pada Gwan-sik, ayahnya, "Bagaimana Ayah bisa melakukannya?" Saking beratnya mencari pekerjaan dan menghidupi keluarga. Pasti ini juga yang suami-suami kita perjuangkan ya, Buibu.
4. Orang Tua Tak akan Membiarkan Anaknya Mengalami Kesulitan
Ae-sun rela melakukan apa pun pada anak perempuannya karena ia tahu betapa sakitnya tidak bisa mengejar cita-cita akibat tidak punya uang. Sampai menjual rumah dan pindah ke apartemen kecil agar Geum Myeong bisa kuliah di Jepang. Saat Eun Myeong masuk penjara, Gwan-sik juga menjual kapal sebagai sumber mata pencaharian utama untuk membebaskan anaknya. Tak masalah bila setelah itu akan bekerja kasar di pasar.
Pasti ini juga yang akan kita lakukan sebagai orang tua, bukan? Entah kenapa ini menjadi cambukan bagi saya untuk semangat mencari sumber rezeki dari mana saja serta membangun mental dan fisik yang sehat selama mungkin agar bisa hadir untuk anak-anak di setiap masa sulit mereka. Meski sudah dewasa, orang tua akan tetap menganggap anak-anak mereka masih kecil dan selalu ada naluri untuk merangkul.
5. Pentingnya Bersikap Adil pada Anak
Bukan berarti tanpa celah, Ae-sun dan Gwan-sik nyatanya pilih kasih pada kedua anaknya yang masih hidup. Geum Myeong memang pintar, tapi bukan berarti hanya berfokus pada dia saja. Masih ada satu anak lagi yang juga berharap bisa diperlakukan adil dan dibanggakan. Ini menjadi part yang cukup sedih bagi saya. Ketika Aun Myeong mengungkapkan seluruh isi hatinya.
Lagi-lagi ini pelajaran untuk para orang tua. Setiap anak unik. Meski lahir dari rahim yang sama, tak ada manusia yang sama persis. Tidak bijak bila orang tua hanya membanggakan dan menyayangi satu anak, sedangkan yang lainnya cuma sekadarnya. Dampaknya jangka panjang. Bahkan terlalu disayang pun bisa menjadi beban yang juga menyulitkan anak, seperti yang dirasakan oleh Ae-sun ketika harus menjadi anak sempurna sebagai balas jasa.
6. Kentalnya Patriarki Sangat Merugikan Perempuan
Jujur, saya tidak menyukai patriarki. Memosisikan laki-laki lebih tinggi dalam hal apa pun dari perempuan, sehingga banyak hak perempuan yang akhirnya terabaikan. Paling kentara adalah ketika Ae-sun tinggal di rumah mertuanya karena menantu mesti mengurus semua urusan rumah tangga. Juga meja makan keluarga laki-laki terpisah dengan meja makan para menantu. Perempuan pun tak boleh menjadi pemimpin yang akhirnya dipatahkan oleh Ae-sun ketika ia berhasil menjadi Ketua Organisasi Nelayan. Bahkan Ae-sun tak dapat melanjutkan pendidikan karena perempuan dianggap cukup menjadi istri yang baik saja dan hanya boleh bekerja sebagai haenyeo (penyelam).
Untung saja Gwan-sik tak melanjutkan mata rantai budaya patriarki tersebut. Ia membuka ruang selebar-lebarnya bagi perempuan di keluarganya untuk melakukan apa pun. Mulai dari mengejar impian, pendidikan, hingga menjadi pemimpin. Ketika perempuan diberi kesempatan, banyak hal yang bisa dicapai dan perubahan baik yang diberikan. Perempuan juga berhak akan itu. Mari sama-sama kita akhir praktik patriarki yang masih ada dimasyarakat kita!
7. Tak Ada Kata Terlambat untuk Mengejar Mimpi
Ae-sun baru bisa menerbitkan buku puisi solonya setelah berusia senja. Keluarga ini pun juga bisa menikmati rezeki berlimpah setelah melalui banyak sekali kesulitan, berkat kegigihan dan keyakinan menjual cumi segar yang bisa diantar. Dari lokasi ruko di tempat sepi, itu pun sempat tertipu omongan manis developer, akhirnya dapat menjadi sumber pemasukan dan sukses menjadi tempat makan yang ramai dikunjungi.
Ini mengajarkan kita bahwa usia hanyalah angka. Kapan pun, kesempatan itu selalu terbuka. Mau usia sudah 40-an, 50-an, atau 60-an, tak masalah. Fisik yang menua memang kodrat manusia, namun jiwa yang muda adalah pilihan. Bukan berarti apa yang belum kita capai sekarang, tidak akan pernah tercapai selamanya. Terkadang kita hanya tidak sabar.
Baca juga: Budaya Patriarki Tak Boleh Rugikan Perempuan dalam Pernikahan
Mungkin kalau digali lagi, masih bejibun pelajaran yang tersurat dan tersirat dari film When Life Gives You Tangerines ini. Jenius sih yang membuat jalan ceritanya. Saya yang menonton, jadi banyak syukur, dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik sebagai orang tua, dan mendapat gambaran sudut pandang anak dari gaya pengasuhan yang diterapkan.
Satu lagi, pasangan yang mencintai dengan tulus memang sangat penting. Namun, uang juga tak kalah penting dalam membangun keluarga. Yuk, semangat, yuk!
Semoga bermanfaat dan semoga hidup kita tidak seberat Gwan-sik dan Ae-sun, ya.
Kalau teman-teman yang sudah nonton, pelajaran apa yang didapat dari film When Life Gives You Tangerines?
Setelah REPLY 1988 dan CRASH LANDING ON YOU, KDrama tentang kehidupan keluarga ini adalah salah satu yang terbaik. Plotnya bagus, ceritanya rapi, dan selalu hadir dengan banyak makna dan rasa. Dari KDrama ini juga kita makin paham bahwa hubungan terbaik dalam rumah tangga adalah melulu tentang kita dan pasangan kita. Jika ini kuat maka orang lain di luar ini (termasuk mertua dan ipar) tak akan memberikan efek apa pun.
ReplyDeleteAh jadi pengen nonton lagi untuk mematangkan tulisan ku untuk review KDrama ini.
Iya setuju banget, Mbak Annie. Ini pun jadi salah satu drakor terbaik yang pernah aku tonton. Banyak banget ngasih pelajaran tentang hidup. Makanya semangat pengen nulis tentang drakornya di blog :)
DeleteMenarik sih buat ditontong ulang. Yuk, Mbak Annie bikin review-nyaaaa. Mana tau tergali lagi pesan-pesan tersirat yang nggak aku lihat.