Makanan Khas Minang Palai Bada, Wakili Keanekaragaman Hayati Daerah Pesisir

No comments
Pergerseran gaya hidup masa kini bukan lagi hanya sebatas style berpakaian atau bersosial. Namun, juga memengaruhi eksistensi pangan lokal. Seperti palai bada, salah satu makanan khas Minang yang sekarang keberadaannya mulai langka. Jarang ditemukan karena tak banyak lagi yang menjual, terutama di Kota Padang. Secara tidak langsung, ini berkaitan dengan beralihnya selera masyarakat ke menu-menu kekinian. 

Palai Bada, Makanan Khas Minang
Palai Bada, Makanan Khas Minang | Dokumentasi Pribadi
Tidak perlu jauh-jauh, saya yang asli Minang saja sudah jarang sekali menyantap palai bada. Saya hanya tahu satu penjual di dekat rumah orang tua, di mana berkatnya saya masih bisa merasakan gurih-pedasnya makanan ini. Padahal, selain rasanya yang otentik, keberadaan palai bada bertalian erat dengan keanekaragaman hayati Sumatera Barat sebagai daerah pesisir. 

Mengenal Palai Bada, Berbahan Utama Bada (Teri) dan Kelapa

Dari sejarah yang beredar, palai bada berasal dari Painan, Sumatera Barat. Ikan teri yang ditangkap sebagai hasil laut, dimasak bersama kelapa yang tumbuh subur di daerah ini. Makanan yang dianggap sederhana oleh masyarakat sekitar, ternyata memiliki rasa yang tidak sederhana. Penyebarannya terus meluas ke seluruh wilayah Sumatera Barat. Bahkan yang tidak tinggal di dekat laut, akhirnya mengganti bada dengan ikan kecil di danau demi tetap bisa menikmati palai.

Penjual palai bada biasanya langsung memasak di tempat agar aromanya yang merebak dapat memanggil orang berlalu lalang untuk singgah membeli. Sekaligus demi menyuguhkan palai yang masih panas atau hangat, alias fresh from the oven. Makanya, ketika saya datang sebagai pelanggan, saya bisa melihat proses memasak palai bada yang masih sepenuhnya dilakukan secara tradisional.

Secara rupa, palai bada mirip dengan pepes yang lebih familiar dikenal, yaitu menggunakan daun pisang sebagai pembungkusnya. Namun, yang membedakaan adalah isi dan cara memasaknya. Palai bada dibuat dari bahan utama kelapa parut dan bada atau ikan teri basah. Kedua bahan ini dicampurkan dengan rempah-rempah yang dihaluskan, seperti bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, dan cabai. Ditambah helaian daun kunyit dan ruku-ruku agar lebih wangi. 

Setelah semua dicampurkan, memasaknya bukan dikukus, melainkan dipanggang di atas bara batok kelapa. Proses pemanggangan ini akan mematangkan palai dengan perlahan dan merata, serta menambahkan rasa smoky yang membuatnya semakin kaya rasa. Ikan terinya pun matang lembut dengan gurih bumbu yang meresap. Karena proses inilah, palai bada tidak sebasah pepes dan tidak pula menjadi terlalu kering. 

Palai bada yang hangat, sangat enak dimakan bersama nasi yang juga masih hangat. Karena sudah ada proteinnya, ditambah dengan rasa yang sudah gurih dan kuat, tanpa tambahan lauk lain pun, sudah cukup untuk menuntaskan selera makan. Tidak heran bila palai bada sampai dijadikan judul lagu Minang fenomenal pada masanya yang dinyanyikan oleh Elly Kasim.

Jikok tuan salero patah (kalau tuan patah selera)
Cubo makan si palai bada (coba makan palai bada)
Begitu sedikit penggalan liriknya. Bahkan saat tidak selera makan, palai bada dapat menjadi pengobat. 

Keanekaragaman Hayati Daerah Pesisir yang Mulai Terancam

Abrasi dan sampah di Pantai Padang
Abrasi dan sampah di Pantai Padang | Dokumentasi Pribadi
Bila meneropong lebih dalam, pangan lokal palai bada mewakili keanekaragaman hayati di daerah pesisir. Sumber daya yang telah menopang gizi masyarakat setempat hingga saat ini. Misalnya kelapa. Menjadi tanaman khas daerah tropis, wajar bila Sumatera Barat menghasilkan banyak buah kelapa per tahunnya. Menurut catatan Data Pusat Statistik (BPS), menyentuh angka 88 ribu ton kelapa di tahun 2023. Padang Pariaman menjadi pemilik kebun kelapa terbesarnya. 

Begitu pula dengan hasil lautnya, masih menjadi mata pencaharian utama bagi para nelayan setempat. Kesegaran ikan, bukanlah hal yang sulit dicari. Bahkan ikan-ikan itu bisa dibeli langsung saat jala baru dinaikkan. Wajar bila ikan laut melahirkan ragam makanan enak, termasuk palai bada.

Namun, keanekaragaman hayati yang menjadi sumber kehidupan daerah pesisir ini sudah mulai terancam. Dikarenakan pesatnya pembangunan, hingga dampak perubahan iklim.

Bencana yang diakibatkan abrasi terus menggerogoti pesisir. Menumbangkan pohon-pohon kelapa dan mengancam ratusan pohon lainnya. Warga banyak yang terpaksa pindah karena air laut terus naik ke daratan. Mengutip dari Kompas, saat kejadian abrasi di Pantai Pasir Jambak, dalam dua bulan saja, sekitar 50 meter daratan di pantai terkikis. "Setiap tahun terjadi abrasi di sini," ungkap Pati Hariyos, aktivis lingkungan Kota Padang. 

Hasil penelitian pun memprediksi bahwa akan terjadi genangan seluas 0,382 km2 di wilayah pesisir Kota Padang pada tahun 2020, seluas 0,571 km2 pada tahun 2060,  dan seluas 0,831 km2 pada tahun 2100. Akibat kenaikan muka air laut yang menyentuh angka 1,1786 cm/tahun karena kenaikan suhu bumi. Sehingga, sampai tahun 2100, daerah yang berada di pesisir Kota Padang menjadi rentan terhadap genangan.

Bila terus begini, meski kelapa masih bisa ditanam kembali di lahan perkebunan, yang telah tumbuh di pantai-pantai, bisa jadi lenyap tak bersisa. Dampaknya seperti mata rantai, karena pohon kelapa dapat berperan sebagai penyanggga alami pantai, serta rumah bagi banyak hewan. Sedangkan untuk melakukan penanaman kembali, butuh waktu lama untuk tumbuh, apalagi berbuah. Karena pohon kelapa baru akan berbuah 6-10 tahun setelah benih berkecambah dan mencapai produksi penuh pada usia 15-20 tahun.

Belum lagi masalah sampah di pantai yang menjadi objek wisata. Bukan hanya pantai lama, pantai-pantai baru yang dulunya tidak didatangi wisatawan, mulai dibuka satu per satu, seperti pantai di jalur Puncak Mande. Media sosial sukses memperkenalkan banyak tempat tersembunyi ke publik. Hidden gem sebutannya, bila meminjam istilah anak muda sekarang.  Memang bagus untuk meningkatkan perekonomian dan mengeksplor keindahan alam. Tapi, bila tak diimbangi dengan upaya pelestarian yang seimbang, bisa-bisa sampah yang terus menjadi perusak akan menurunkan kualitas media tanam tumbuhan pesisir, hingga mengancam kehidupan biota laut dangkal yang menjadi salah satu sumber makanan dan mata pencaharian warga. 

Saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyaknya sampah yang harus dibersihkan petugas kebersihan setiap paginya di Pantai Padang. Berbeda dengan puluhan tahun saat saya masih kecil, sampahnya tidak sebanyak sekarang. Bahkan masih belum ada petugas khusus yang mengurusinya. Bayangkan bagaimana di dalam lautnya? Sampah yang mencemari laut, bila digabungkan dengan dampak perubahan iklim, bukannya tidak mungkin biota laut yang menjadi protein andalan masyarakat pesisir, termasuk ikan teri atau bada di kedalaman 10 hingga 60 meter, akan semakin sulit dicari.

Pangan lokal yang bergantung pada kondisi alam daerah pasti akan turut terkena imbasnya. Meski bisa dialihkan pada bahan-bahan yang didatangkan dari tempat lain atau yang sudah dimodernisasi dalam bentuk produk kemasan yang instan, kesegaran dan rasanya pasti tak akan sama lagi.

Pangan lokal bukan hanya sebatas identitas atau kearifan budaya, melainkan dapat menjadi jembatan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghargai dan menjaga keanekaragaman hayati daerah nan unik.

Menjaga Pangan Lokal sesuai Zaman

Melansir dari KEHATI, Kemenko Bidang Perekonomian tahun 2023 pernah mengatakan bahwa salah satu strategi menciptakan ketahanan pangan dalam permasalahan global saat ini adalah dengan  diversifikasi produk pangan lokal. Dilanjutkan oleh Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI Renata Puji Sumedi Hanggarawati, “Upaya untuk kembali ke sumber pangan lokal harus ditingkatkan. Keragaman sumber pangan nusantara merupakan jawaban terhadap permasalahan kelaparan, gizi buruk, termasuk perubahan iklim.”

Bila mengacu pada Data Badan Pangan Nasional tahun 2022, Indonesia menempati urutan ketiga dalam keanekaragaman hayati, dengan kekayaan 77 tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 26 jenis biji-bijian, 389 jenis buah-buahan, 228 sayuran dan 110 bumbu dan rempah-rempah, serta 40 macam bahan minuman. Dengan banyaknya sumber daya lokal ini, tidak heran bila Indonesia memiliki ragam kuliner dengan keunikannya masing-masing. Tinggal bagaimana melestarikan kuliner nusantara ini agar tetap eksis di tengah gempuran makanan modern dan kecenderungan ikut-ikutan dengan tren menu luar negara.

Satu lagi, soal kesehatan, pangan lokal merupakan real food yang tak perlu diragukan lagi kesegarannya. Bila dibandingkan dengan makanan olahan atau impor yang merebak di pasaran. Kalau dihubungkan dengan semakin masifnya gerakan pola hidup sehat, tentu pangan lokal memiliki keunggulan untuk dijadikan pilihan. 

Saya jadi teringat produk-produk UMKM yang menghadirkan produk-produk inovatif dari pangan lokal. Misalnya jamu yang dikemas seperti kopi kekinian atau gula aren batok yang diolah menjadi gula semut dalam sasetan kecil. Bukankah ini juga bisa diterapkan pada pangan lokal lain yang sudah mulai langka? Mungkin pengemasan palai bada yang masih tradisional, bisa dibuat lebih bersih dan rapi lagi dengan menggunakan kotak. Promosinya pun perlu merambah ranah digital sesuai dengan kebutuhan era digital sekarang ini. 

Tidak ada salahnya juga bila restoran atau cafe yang dijadikan tempat favorit untuk nongkrong dan berkumpul, dilengkapi dengan beberapa menu yang menonjolkan cita rasa pangan lokal. Bisa jadi keberlanjutan eksistensi pangan lokal itu bukan karena tidak lagi disukai, melainkan ketidaktahuan generasi muda akan keberadaan makanan tersebut. 

Sejatinya, menjaga pangan lokal perlu menerapkan strategi yang sesuai dengan zamannya. Bila pangan lokal setidaknya diketahui oleh setiap tingkatan generasi, maka upaya untuk melestarikan bahan baku pembuatnya dan alam sebagai wadah kehidupannnya, akan dapat terus dilanjutkan. 


Referensi:
  • Jurnal ANALISA SPASIAL DAERAH BANJIR GENANGAN (ROB) AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT DI KOTA PADANG oleh M. Hanif Rasyda, Sugeng Widada, Baskoro Rochaddi
  • Data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Produksi Tanaman Perkebunan (Ribu Ton) tahun 2023. Tautan: https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTMyIzI=/produksi-tanaman-perkebunan.html
  • Dalam 2 Bulan, 50 Meter Pantai di Padang Terkikis Abrasi. Tautan: https://regional.kompas.com/read/2023/10/30/175436578/dalam-2-bulan-50-meter-pantai-di-padang-terkikis-abrasi
  • Berdaulat Pangan Melalui Keragaman Pangan Lokal. Tautan: https://kehati.or.id/berdaulat-pangan-melalui-keragaman-pangan-lokal-2/

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)