Saya masih ingat ketika baru mulai konsisten menulis, yaitu sekitar 8 tahun lalu, di mana saya menganggap bahwa menulis bisa dilakukan dengan cepat dan mudah oleh siapa saja. Wong dari kecil sudah diajarkan menulis. Tapi, saya salah. Menuangkan apa yang ada di pikiran dalam tulisan itu ternyata tidak semudah yang dikira.
Padahal sudah jelas ide yang mau ditulis, sudah paham betul dan hafal luar kepala, entah kenapa saat menuliskannya malah lama. Bingung mau mulai dari mana dan menjelaskannya seperti apa. Ada juga yang mengalami?
Sekarang saya tahu bahwa itu lumrah dialami oleh penulis pemula. Malah
menurut saya bukan hanya yang baru menulis, sekarang pun setelah 8 tahun, terkadang saya masih
mengalami tantangan tersebut. Walau memang tidak lagi sesering dulu dan sudah
jauh lebih baik.
Hikmah dari mengikuti beberapa kelas menulis dan membaca buku-buku tentang
kepenulisan, saya jadi tahu satu strategi jitu yang dinamakan dengan "menulis buruk". Setelah mempraktikkannya dan terus berlatih, saya bisa menulis dengan
lebih cepat dan tidak terlalu bingung bagaimana menuliskan apa yang
ada dalam pikiran.
Apa itu Menulis "Buruk"?
Buruk yang dimaksud di sini bukan diartikan sebagai sebuah tulisan yang buruk dan tak layak
baca. Namun, lebih kepada tahap menuangkan pikiran atau ide dalam tulisan
seperti kita berbicara, sehingga tidak perlu dulu memikirkan kaidah kepenulisan. Anggap kita sedang menjelaskan sesuatu kepada
seseorang yang sedang duduk di hadapan. Bukankah kita sangat mudah berbicara?
Bahkan setiap hari bisa menjelaskan puluhan hal pada banyak orang.
Jangan pedulikan dulu aturan menulis, EYD, kalimat efektif, typo, apalagi diksi. Pokoknya tulis saja dengan cepat. Jangan tulis-baca-tulis-baca. Itu hanya akan membuat proses menulis menjadi lebih lama atau mungkin tulisan tidak jadi-jadi.
Misalnya ketika saya menulis artikel ini. Saya menganggap sedang berbicara
dengan pembaca yang menanyakan tentang bagaimana bisa menuliskan ide yang
telah didapatkan. Kemudian saya menjawabnya dengan gaya bahasa yang biasa
saya ucapkan. Tidak perlu buru-buru membaca apa yang baru dituliskan. Pokoknya,
selesaikan sampai ujung. Bila tulisannya panjang, naskah buku misalnya, maka bisa ditulis per bab dulu, baru berhenti.
Bila ada bagian yang rasanya masih sulit diungkapkan, ya sudah, lewati saja dan lanjut ke bagian lain yang lebih mudah untuk ditulis. Kalau membiarkan
diri terpaku terlalu lama pada satu bagian, akan membuang-buang waktu atau
jadi merasa berat untuk melanjutkan. Padahal, bisa jadi bagian yang sulit itu
akan lebih mudah dijelaskan setelah menulis yang lainnya. Pasti dalam satu
tulisan, semuanya saling terkait, bukan?
Dengan cara ini, sudah pasti ada hasil tulisan walau masih belum sempurna.
Tulisan mentah inilah yang dinamakan sebagai tulisan "buruk". Setelah itu,
baru dilakukan swasunting untuk memperbaiki kesalahan yang ada atau
kalimat-kalimat yang dirasa masih belum pas.
Berhasil menulis draft
walau “buruk” akan jauh lebih baik dari pada membiarkan kertas masih
kosong karena ingin mendapatkan hasil yang langsung sempurna. Karena
yang buruk itu bisa diperbaiki. Kalau tulisannya tidak ada, apa yang mau
diperbaiki?
Membantu Menghilangkan Tekanan saat Menulis
Tentu butuh waktu untuk berlatih agar teknik "menulis buruk" ini bisa
dilakukan dengan lancar. Mulanya saya masih kesulitan menahan diri untuk membaca ulang kalimat yang baru saja saya tulis. Lama kelamaan, hasrat itu
bisa perlahan ditahan sampai selesai menulis satu paragraf, satu sub judul, hingga berhasil sampai ujung tulisan.
Karena menulis dengan cepat, memang jadi banyak kesalahan.
Typo, kalimat dengan susunan kata yang tidak pas, dan penggunaan kata
yang rasanya kurang oke dalam tulisan, walau familiar untuk didengar. Sekali
lagi, ini bukan masalah besar, karena bisa diperbaiki setelahnya dengan swasunting.
Sebenarnya, yang berhasil dihilangkan ketika berani "menulis buruk"
adalah tekanan saat menulis. Takut kalau hasil tulisannya jelek, tidak
enak dibaca, tidak sesuai aturan, dan sebagainya. Tekanan inilah yang
menjadi masalah besar dalam proses menulis. Seolah menulis adalah
aktivitas yang sulit dan membutuhkan banyak waktu. Akhirnya, tulisan
yang diimpikan tak pernah hadir dan niat untuk melakukannya semakin
memudar.
Baca juga: Buku KETIKA IBU RESIGN, Pentingnya Matang Menimbang dan Memapar Kehidupan Real Ibu Setelah Resign
Duh, jangan sampai, ya. Selalu ingat bahwa menulis sama saja dengan berbicara.
Hanya caranya yang beda. Yang satu diucapkan, yang satu dituliskan. Ketika
kita mampu menulis seperti berbicara, kesampingkan dulu kekhawatiran yang
menekan, insyaAllah prosesnya akan lebih cepat dan wujud tulisannya bukan lagi
sebatas angan. Barulah diperbaiki setelahnya agar lebih sempurna dan indah.
Yuk, terapkan teknik "menulis buruk" dan jadikan menulis lebih
menyenangkan.
Semoga bermanfaat.
No comments
Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)