Budaya Patriarki Tak Boleh Rugikan Perempuan dalam Pernikahan

No comments

Minggu itu jadwal arisan bulanan ibu-ibu di tempat saya tinggal. Kerandoman obrolan menggiring saya dan beberapa ibu yang kebetulan duduk bersebelahan, menyentuh kulit luar realitas budaya patriarki. Bukan membincangkan hal yang berat, namun lebih kepada sesi curhat di mana para suami mesti diurusi keperluannya dari A sampai Z. Sedangkan mereka tak bersedia berbagi tugas rumah tangga. Katanya, urusan rumah itu ya ranahnya perempuan. Tugas lelaki cukup mencari nafkah.


Budaya Patriarki Tak Boleh Rugikan Perempuan dalam Pernikahan

Satu hal yang saya garis bawahi. Ternyata, kebiasaan tersebut memang diajarkan turun temurun, di mana sejak kecil, laki-laki dilarang keras masuk dapur, menyapu, mencuci, pokoknya semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga."Suami saya memang di keluarganya tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah. Apalagi dia anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Total dilayani. Jadi, sekarang tidak bisa melakukan satu pun kerjaan rumah," cerita salah seorang ibu.


Mama saya pun sama. Pasti selalu komplain setiap kali melihat suami saya mencuci piring. "Kok suami yang cuci piring, istrinya mana ini?" Begitu pula dengan yang saya amati, laki-laki menyapu, menjemur baju, atau mengasuh anak, masih dinilai memalukan dan pasti dipertanyakan ke mana ibu atau istrinya,   sampai-sampai suami yang harus turun tangan. Atau sebaliknya, malah dipuji sedemikian rupa karena dianggap telah melakukan tugas yang luar biasa hebat. 


Menurut KBBI, patriarki merupakan perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu.


Sayangnya, budaya patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan pihak yang mendominasi, serta memiliki status sosial yang lebih tinggi, malah membuka pintu ketidakadilan yang merugikan perempuan. Cakupannya tidak hanya sebatas masalah tugas rumah tangga, tapi juga menyangkut kebebasan dan hak perempuan dalam kesetaraan. 



Momok Patriarki dalam Pernikahan

Momok Patriarki dalam Pernikahan

Indonesia merupakan negara yang masih kental dengan budaya patriarki. Setidaknya di circle kehidupan saya karena banyak sekali saya temui. Contoh yang paling seringnya dan saya sudah merasakan ketidakadilan di dalamnya adalah ketika suami dan istri sama-sama bekerja, tapi yang memasak, mengurus rumah, mengasuh anak, tetap harus sang istri. Itu kodratnya. Begitu dalihnya. Beban ganda ini tak jarang membuat perempuan kewalahan dan stres.


Belum lagi ketika sudah menjadi ibu, seolah penyebab semua masalah adalah dirinya. Anak tidak mau makan, ibunya yang disalahkan. Anak sakit, ibunya juga yang dibilang tak telaten. Bahkan sejak dari saat menanti kehamilan, kalau istri belum hamil, yang dilirik miring pasti perempuannya. Sekali lagi, saya melihatnya sebagai ketidakadilan. Tentu masih banyak lagi contoh nyata lain yang tak jarang terjadi di depan mata. 


Sehingga budaya patriarki menjadi momok bagi tidak sedikit perempuan. Berikut alasan besarnya yang saya rangkum dari cerita keluarga dan teman, serta informasi dari media berita.


1. Setelah Menikah Jadi Tidak Bebas Lagi

"Ngapain sih buru-buru nikah? Puas-puasin dulu melakukan hal yang disuka selagi masih sendiri. Nanti kalau sudah nikah, enggak bakal bisa ngapa-ngapain lagi."


Bukan hanya satu atau dua kenalan saya menyatakan hal demikian. Tidak masalah terlambat menikah, asal sudah puas bertualang ke mana-mana dan melakukan apa saja. Karena ketika sudah berumah tangga, perempuan akan terikat dan tak sebebas sebelumnya. Alhasil, menikah dianggap mengekang kaum perempuan dengan tugas rumah tangga yang otomatis menjadi tanggung jawabnya secara utuh. Belum lagi tuntutan lain yang entah kenapa hanya dibebankan kepada perempuan, seperti halnya hamil atau anak harus sehat tadi.


Bukankah seharusnya pernikahan itu adil bagi kedua belah pihak? Bila suami masih bebas bekerja dan mengejar karier, kuliah lagi, atau berkumpul bersama teman-teman, kenapa perempuan tidak? Rantai belenggu besar itu tak semestinya ada karena budaya patriarki. Yang menyebabkan beberapa perempuan takut untuk menikah.


2. Diskriminasi dan Kekerasan

Dalam rumah tangga pun bisa terjadi diskriminasi. Bukan hanya suami pada istrinya, tapi juga pada anak-anak perempuan. Bahkan ada pula yang datang dari lingkungan sekitar. Bila perempuan bekerja, hanya dianggap sebagai tambahan. Perempuan pun dirasa tak perlu berpendidikan tinggi karena lebih baik mengurus rumah saja. Hingga perbedaan perlakuan lainnya yang semakin menguatkan ketimpangan ini.


Soal kekerasan, lebih miris lagi datanya. Mengutip dari Republika, berdasarkan Laporan yang masuk ke Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), pelaku kekerasan sebagian besar adalah suami dengan persentase 56,3 persen. Inti dari kekerasan adalah dominasi kekuatan salah satu pihak, alias pelaku, dan korban yang tak berdaya. Dituliskan pula di Detik bahwa hierarki gender dalam patriarki dinilai sebagai salah satu penyebab kekerasan pada perempuan.


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) angkanya masih sangat besar. Kondisi ini selaras dengan persepsi dan sikap perempuan yang disurvei, tapi mewakili populasi perempuan Indonesia, yang menyatakan setuju terhadap pernyataan "istri yang baik memang harus patuh pada suami meskipun bertentangan dengan keinginan istri".

Eni Widiyanti - Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA (Sumber: Republika)


Akhirnya, pernikahanlah yang menjadi kambing hitam. Padahal budaya patriarki yang masih berlaku di masyarakat kitalah yang menjadi penyebabnya. Perempuan sudah takut duluan sebelum menikah dan waspada ekstra setelah menikah.



Perlu Didiskusikan Sejak Sebelum Menikah

Perlu Didiskusikan Sejak Sebelum Menikah

Bila saya berpendapat, budaya patriarki tentu masih banyak sisi baiknya. Misal dalam kepemimpinan, laki-laki lebih mengedepankan logika dari pada perempuan yang sering didasari perasaan. Atau dalam warisan gelar, juga tak masalah bila berdasar garis keturunan laki-laki. Apalagi dalam pekerjaan berat yang menuntut kekuatan fisik, mendahulukan laki-laki akan jauh lebih aman. 

Karena bicara soal setara, tidak semuanya harus sama, melainkan adil.


Jadi, untuk mengatisipasi dampak budaya patriarki, yang nyatanya masih ada kasus-kasus yang merugikan perempuan, bisa dimulai sejak dari sebelum menikah. Perlu didiskusikan bagaimana nanti keadilan dalam berumah tangga. Tidak akan sama pasangan yang satu dengan yang lain, karena diskusi ini bertujuan sebagai pegangan masing-masing dan mesti disesuaikan. Kalau perlu, buatlah perjanjian, hitam di atas putih. Menurut saya, tak ada salahnya.


Misal ketika saya dan suami berencana menikah, kami sepakat bahwa semua yang terjadi dalam pernikahan adalah tanggung jawab berdua. Mencari nafkah, tanggung jawab saya dan suami. Mengurus rumah dan anak, juga tanggung suami dan saya. Begitu pula hal lainnya. Jadi tak ada batasan dan larangan satu sama lain. Malah harus saling mendukung dan melengkapi.


Bila setelah itu ada keputusan besar yang membuat salah satu dari kami menjalani peran lebih dominan, misal ketika saya memutuskan resign dari pekerjaan, sehingga suami pasti akan lebih dominan sebagai pencari nafkah, dan saya lebih dominan dalam urusan rumah, bukan berarti melarang saya untuk berpenghasilan dari rumah dan mengembangkan diri. Begitu pula suami, juga membantu mencuci piring, mencuci pakaian, membereskan rumah, dan mengajak anak-anak bermain di waktu liburnya. 


Upayakan kedudukan yang sama dalam rumah tangga. Bukan berarti kepala keluarganya bukan suami atau istri jadi seenaknya. Tapi saling berbagi, mendukung, menghargai pendapat, dan tak merasa lebih tinggi dari pasangan, bukankah itu yang dibutuhkan? Budaya patriarki tak semestinya mengambil alih pernikahan. Apalagi sampai merusaknya. 



Ketika Punya Anak Laki-Laki

Ketika Punya Anak Laki-Laki

Jangan sampai mata rantai dampak negatif dari budaya patriarki terus berlanjut dan merugikan lebih banyak perempuan. Khusus untuk para orang tua, dan saya juga merupakan ibu dari dua orang putra, sudah sepatutnya mengajarkan kesetaraan sejak dini. Mulai dari membiasakan mereka membantu pekerjaan rumah. Walau masih belum mahir, tapi ini bisa menjadi cara efektif untuk menanamkan bahwa tugas rumah tangga itu bukan kodratnya perempuan. Laki-laki pun harus melakukannya.


Selanjutnya, beri contoh. Anak-anak adalah peniru ulung. Ketika ayah mereka tak masalah melakukan pekerjaan rumah, maka hal tersebut akan dianggap wajar dan kemungkinan besar akan ditirunya di kemudian hari. Seperti anak bungsu saya yang sudah meminta untuk mencuci piring di usianya yang masih lima. Melarang karena dia laki-laki? Itu tak berlaku dalam pengasuhan saya. Justru penting untuk diajarkan.


Terakhir, perempuan dan laki-laki itu sama. Sama dalam konteks keadilan. Berhak memilih jalan hidupnya, berpendapat, bekerja, menempuh pendidikan, atau menekuni bidang tertentu. Makanya ketika anak pertama saya cerita, "Bun, masak di sekolah ada perempuan yang ikut ekskul sepak bola?", saya menanggapinya dengan santai bahwa apa pun itu sah-sah saja dilakukan perempuan dan laki-laki. Sama dengan laki-laki yang ikut ekskul menari atau memasak, kenapa tidak? Chef Juna saja jadi idola kok. 


Masalah ini jugalah yang menjadi latar belakang saya menulis novel Patriarki. Masih dalam proses. Bagaimanapun, patriarki yang praktiknya merugikan perempuan tak boleh dilanjutkan. Kecuali dalam beberapa hal yang konteksnya laki-laki memang lebih baik memegang kendali. Bukan malah kebablasan sehingga melanggar hak, mengikat kebebasan, atau menyakiti perempuan.


Bagaimana pendapat teman-teman mengenai budaya patriarki? Atau punya cerita yang ingin dibagikan sebagai informasi dan pelajaran bersama? Silakan tulis di kolom komentar, ya.


Semoga bermanfaat.


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI


Referensi

Kekerasan Terhadap Perempuan Paling Banyak di Rumah Tangga, Pelakunya Suami Sendiri. Tautan: https://ameera.republika.co.id/berita/s0vsc5425/kekerasan-terhadap-perempuan-paling-banyak-di-rumah-tangga-pelakunya-suami-sendiri

Patriarki: Pengertian, Tujuan, Dampaknya. Tautan: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7079529/patriarki-pengertian-tujuan-dampaknya

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)