Menyuarakan Tanpa Suara

No comments

Ibu Rita, asal Yogyakarta. Mendirikan UMKM mainan kayu edukatif yang setengah karyawannya merupakan teman disabilitas. Keistimewaan yang tak dimiliki semua usaha. Keberanian sekaligus kepedulian Ibu Rita membuktikan bahwa keterbatasan bukan berarti menutup kesempatan. Karena semua orang berhak berdaya dengan caranya dan Ibu Rita berhasil membuka pintu keberdayaan itu.


Menyuarakan Tanpa Suara

Jauh ke timur Indonesia, Kak Jordy memperjuangkan kesetaraan yang sama di Pulau Mansinam, Papua Barat. Menjadi salah satu pulau terluar, meski dilimpahi keindahan alam bak surgawi, nyatanya pendidikan tak utuh menyentuh anak-anak yang seharusnya berhak atas itu. Bahkan di kelas 6 SD, masih banyak yang belum bisa membaca. Lagi-lagi soal keterbatasan, hanya wujudnya saja yang beda. Proses belajar mengajar dan program pemerintah dihadang tantangan kesulitan akses, hingga berbuntut pada minimnya tenaga pendidik dan kurangnya bangunan sekolah. Latar belakang inilah yang mengukuhkan langkah Kak Jordy untuk membawa hak literasi tersebut langsung ke pantai-pantai berpasir putih Pulau Mansinam. Sekarang, anak-anak di sana selalu menunggu setiap minggu dengan binar semangat karena cita-cita mereka tak lagi sebatas angan.  


Tak disangka, dekat sekali dengan tempat tinggal saya, gebrakan Siti Salamah berhasil memperbaiki taraf hidup para pemulung. Berbaur bertahun-tahun di lapak pemulung Jurang Mangu, tentunya dengan usaha yang tak mungkin dianggap kecil, mematik ide untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih profesional bagi mereka. Pernahkah menyadari bahwa pemulung juga memiliki skill yang belum tentu orang lain bisa? Memilah sampah! Ya, berbekal kemampuan itu, pemulung dirangkul sebagai mitra dalam acara-acara besar untuk pengelolaan sampahnya. Bagai sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui, Siti Salamah berhasil berkontribusi untuk lingkungan melalui tangan-tangan pemulung yang tak patut dipandang sebelah mata. 


Orang-orang hebat inilah yang saya kenal berkat menulis. Mewawancarai untuk keperluan riset, justru membuat saya merasa kerdil. Saya belum mampu berbuat seperti mereka. Bahkan seujung kukupun belum. Sesekali air mata saya menetes, dibuat merinding, bahkan mencampur adukkan emosi. Ada yang rela dilempari, ditolak berkali-kali, hingga menghabiskan tabungan demi menyeberangi lautan. Kesulitan demi kesulitan tak menyurutkan niat sedikitpun ketika tekad sudah membulat.


Krisis-krisis kehidupan, mungkin tak berlebihan bila saya melabelinya seperti itu, diselamatkan oleh jiwa-jiwa humanitis.


Saya paham betul bahwa apa yang saya lakukan sekarang, tak sebesar perjuangan Ibu Rita, Kak Jordy, Siti Salamah, atau pahlawan kemanusiaan lain di luar sana yang belum saya jumpai. Tapi, bukan berarti saya tak berperan apa-apa. Tulisan saya menyuarakannya, mengungkap agar lebih banyak pasang mata yang tahu kisah heroik mereka.


Saya tidak tahu sampai di mana tulisan-tulisan itu membawanya dan dampak apa yang diberikannya. Yang pasti, kata yang saya rangkai, membuktikan sentuhan kehadiran saya dalam perjuangan itu. Selama saya menulis dengan baik, saya percaya kebaikan pula yang dikembalikan.


Kalau dipikir-pikir, suara saya pun jauh lebih sering dituangkan. Misal ketika menceritakan pengalaman anak-anak dirawat di rumah sakit, ada kegelisahan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang tersalurkan melalui kata. Dilengkapi juga dengan informasi yang saya harap bisa menjadi referensi orang tua lain ketika menghadapi permasalahan serupa. Bukankah itu juga sebuah kebermanfaatan?


Begitu pula ketika saya menulis momen bahagia, seperti ketika liburan atau saat anak-anak berhasil menggengam piala prestasi. Rasa itu terluapkan, diwakili pemilihan kata dan diksi. Siapa tahu, sedikit potongan momen berharga dalam hidup saya yang disampaikan dengan positif, membuahkan kebaikan di suatu masa. 


Saya tidak pernah menyangkal bahwa salah satu yang menjaga keseimbangan mental saya selama ini adalah aktivitas menulis. Selain bisa menyuarakan beragam kisah menggugah dan inspiratif orang lain, tentunya dengan deretan pelajaran yang tak terlewat untuk dipetik, secara tidak langsung, saya juga menyuarakan segala rasa yang tidak semudah itu untuk dikatakan gamblang. Malah lebih menenangkan ketika dituliskan.


Termasuk ketika saya menulis artikel ini, ada bersitan kebanggaan bahwa benar penulis memiliki kekuatan dahsyat untuk menyuarakan apa pun, bahkan tanpa perlu bersuara. 


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI

No comments

Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)