Patut diapresiasi ketika pendidikan di Indonesia saat ini, yaitu dalam
implementasi Kurikulum Merdeka, literasi budaya menjadi salah satu literasi
dasar yang mesti ditanamkan. Ditengah kenyataan bahwa keragaman budaya yang
membentuk nilai luhur dan jati diri bangsa mulai tergerus oleh apa yang kita
sebut sebagai modernisasi. Warisan leluhur mulai terlupakan, terabaikan,
bahkan tak jarang yang menganggapnya ketinggalan zaman.
Sejatinya, budaya bukan hanya perihal tarian, bahasa, makanan, atau struktur
rumah adat. Itu adalah yang sebatas kasat terlihat. Filosofi apa yang
terkandung di dalamnya justru memberi lebih banyak pelajaran. Bertaburan makna
bisa dikutip darinya. Bukan hanya demi mempertahankan identitas, tapi juga
bagaimana membangun sebuah peradaban yang beretika dan bertata krama, baik
dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, serta
alam.
Dunia pun mengakui. Konferensi Mondiacult 2022 di Meksiko, yang
merupakan Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Budaya dan Pembangunan
Berkelanjutan, melahirkan kebudayaan sebagai pilar keempat dalam Sustainable Development Goals
(SGDs). Disamping ketiga pilar terdahulunya, ekonomi, keadilan sosial, dan
kelestarian lingkungan, budaya disepakati sebagai bagian penting dalam
kesuksesan pembangunan masa sekarang tanpa mengorbankan masa mendatang.
Bahkan di akhir konferensi dikatakan bahwa
"Kebudayaan adalah satu-satunya energi terbarukan yang dapat
mempersatukan kita untuk masa depan yang lebih berkelanjutan”.
Tentang Literasi Budaya
Saya sepaham dengan kutipan dari E. D. Hirsch, Jr., pendidik asal Amerika dan juga ahli teori dalam
pendidikan, “We have ignored cultural literacy in thinking about education We ignore
the air we breathe until it is thin or foul. Cultural literacy is the
oxygen of social intercourse.” Beliau sampai menganalogikan bahwa literasi budaya adalah oksigen dalam
berhubungan sosial. Oksigen, saking krusialnya. Bila kita mau mengambil
pelajaran dan mengaplikasikannya dalam keseharian, ini benar adanya.
Misalnya buah dari kunjungan ke Istana Pagaruyung di kampung halaman saya,
Sumatera Barat. Lantai pertamanya begitu luas, khas Rumah Gadang. Tak
bersekat, namun jelas pembagiannya. Sejajar dengan pintu utama adalah
singgasana Bundo Kanduang, tauladan kaum perempuan. Lalu di bagian
kirinya terdapat Anjuang Rajo Babandiang yang mencakup tempat sidang,
tempat beristirahat raja dan permaisuri, serta kamar tidur. Bagian kirinya
difungsikan untuk ruang rapat Bundo Kanduang mengenai urusan rumah
tangga dan kewanitaan.
Apa pelajarannya? Aturan-aturan yang secara fisik tidak terlihat, bukan
berarti dapat semaunya diabaikan dan disangsikan keberadaannya. Namun, bukan
pula mengotak-ngotakkan dan memancing perbedaan. Beragam aktivitas itu tak
pernah berbaur satu sama lain, walau tanpa sekatan dinding. Semua mematuhi dan
saling menghormati, selaras dan seimbang. Kalau kita di zaman sekarang bisa
berlaku seperti itu, aturan-aturan yang dibuat pasti akan mencapai fungsi
maksimalnya.
Satu lagi yang alami. Ketika lebih banyak lagi memahami makna dari kebudayaan
dan kearifan lokal, sikap saling menghormati dalam perbedaan pasti terbangun
semakin tinggi. Seperti saya dan suami, Minang dan Jawa. Cara berbicara saya
yang cenderung lebih keras, mesti sedikit menurunkan nada agar suami masih
nyaman mendengarkan. Begitu pula suami, perlu menyesuaikan diri dengan
tekanan-tekanan suara yang sebenarnya bukan karena marah. Ini ilmu
berinteraksi sosial yang diajarkan budaya kita untuk mewujudkan Bhineka
Tunggal Ika. Toleransi yang mempersatukan.
Itulah yang dimaksud dengan literasi budaya. Bukan hanya sekadar mengunjungi, mengetahui, atau mempelajari, namun bagaimana makna yang tersirat dari budaya tersebut dapat diterapkan untuk sebaik-baiknya kehidupan.
Sayangnya, kita tidak bisa melulu menutup mata. Walau tidak semua dan saya
yakin juga begitu, generasi milenial dan setelahnya acap kali dikatakan
sebagai generasi yang mulai luntur pengetahuan budayanya. Generasi ini butuh
pendekatan sesuai zamannya. Bagaimana menjadikan budaya tetap eksis dalam gaya
hidup mereka.
Literasi Budaya Melalui Karya Tulis Kekinian
Komunitas Elang Nuswantara, penulis pencinta budaya |
Sama seperti merancang batik menjadi pakaian yang mengikuti mode, atau film
layar lebar dengan unsur budaya yang menggaet artis papan atas dalam balutan
cerita modern, buku-buku pun hadir untuk membangkitkan literasi budaya dengan
sentuhan kekinian.
Ini yang kami jalankan sejak tahun 2022 lalu. Berpayung komunitas Elang
Nuswantara yang diampu oleh Kirana Kejora, penulis pencinta budaya dengan
novel-novelnya yang telah mendapat berbagai penghargaan dan juga diangkat ke
layar lebar. Dalam setiap karya penulis Elang Nuswantara, kekayaan budaya dan
alam Indonesia dibaurkan dalam cerita fiksi roman, diselipkan dalam bait-bait
puisi kontemporer, serta dirangkum dalam alur kisah catatan perjalanan (travel notes). Mulai dari cagar budaya, bahasa daerah, tarian, kesenian, makanan, ritual,
hingga kebiasaan tertentu.
Mempelajari budaya tidak lagi lekat dengan kebosanan, kuno, atau tidak keren. Malah menyenangkan sembari menikmati alur cerita.
Bukannya tanpa dasar menyebut karya tulis Elang Nuswantara ini kekinian. Mari
ambil fakta-fakta yang pernah ditayangkan. Pertama, rekam jejak pembelian di
acara pameran buku internasional Big Bad Wolf (BBW) yang
disampaikan langsung oleh pendirinya, Andrew Yap, bahwa buku fiksi menjadi
buku yang paling digemari kaum muda. Kemudian dikutip dari
goodnewsfromindonesia.id, survei oleh Picodi.com juga membuktikan bahwa buku fiksi adalah yang
paling tinggi peminatnya. Begitu pula dengan penelurusan yang pernah
dilakukan oleh Okezone, novel tetap menjadi buku yang diburu kaum milenial.
Menyusul pula setelahnya buku-buku puisi.
Benar saja, pendekatan melalui suguhan karya tulis kekinian ini disambut
antusias. Dalam dua tahun berdirinya Elang Nuswantara, berhasil melahirkan
puluhan buku. Baik penulis, maupun pembaca, sama-sama merasakan indahnya
mempelajari budaya. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemdikbudristek) serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Kemenparekraf) juga turut memberi dukungan.
Acara Peluncuran Buku Elang Nuswantara yang pertama di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia |
Penulis aktif Elang Nuswantara bukan hanya dipenuhi oleh generasi milenial
yang seusia saya saja, seluruh generasi hadir di sini. Mulai dari yang berusia
60 tahunan lebih, hingga yang termuda masih duduk di bangku SMP. Lintas
generasi ini saja terkadang sudah mengabadikan budaya melalui obrolan ketika
kami saling bertemu. Saya pun bisa menulis artikel ini berkat ilmu-ilmu yang
terus mengalir dari satu raga ke raga yang lain selama bergabung di sini.
Belum berhenti sampai di situ, keterlibatan generasi muda masih berlanjut.
Setelah terbit, buku-buku di-launching secara berkala
di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penulis diberi panggung untuk
menampilkan pertunjukan bernuansa budaya, baik itu tarian, puisi, melukis,
atau drama. Biasanya, para remaja, Gen Z, dan milenial yang paling terpacu
untuk menunjukkan bakat masing-masing. Masih tersimpan jelas dalam memori saya
bagaimana bangganya para penulis-penulis remaja Elang Nuswantara menari di
panggung membawa tarian daerah asalnya. Selain menulis, tarian tradisional
akhirnya ikut dikuasainya juga.
Penulis Gen Z Elang Nuswantara yang membawa tarian tradisional daerahnya di acara launching buku |
Terbaru dari buku yang akan launching 14 Oktober 2023 nanti, untuk
desain cover-nya adalah hasil dari tangan generasi muda yang juga masih
bersekolah. Generasi muda tak henti dilibatkan agar pengemasan buku dapat
mengikuti ketertarikan generasi mereka, serta secara halus mengenalkan budaya
melalui sesuatu yang mereka sukai. Makin dekat dengan budaya tanpa dipaksa.
Ketika karya-karya ini diapresiasi dengan megahnya, semakin menambah keterikatan dan membuktikan bahwa kecintaan akan budaya masih diberi tempat sangat layak oleh semesta.
Dari karya ini bukan hanya pembaca yang menjadi fokus literasi budaya. Para
penulis pun juga sama. Proses riset menggurat banyak cerita yang semakin
menyadarkan bahwa pengetahuan budaya masing-masing butuh suntikan.
Tidak pernah terlupa proses menulis cerpen pertama saya di Elang Nuswantara
yang mengangkat larangan pernikahan sesuku di Minang. Awalnya hanya ingin
menaikkan unsur roman saja, biar mengena di hati pembaca. Saya berlagak paham
betul, padahal ternyata hanya tahu kulit luarnya saja. Malu rasanya, padahal
saya asli keturunan Minang dan 20 tahun berpijak di tanahnya. Banyak hal yang
terkait dengan larangan pernikahan sesuku, mulai dari tingkat keeratan
pertalian darah dari suku-suku yang ada, penghulu dari setiap suku, hingga
asal daerah suku tersebut. Jujur, tidak mudah menemukan sumber yang memiliki
pengetahuan dalam soal ini.
Cerpen roman budaya berjudul Kasih Sasuku Sapayuang yang saya tulis |
Riset ini mengajarkan saya bahwa larangan ini juga ada sangkut pautnya dengan
ilmu medis dan agama. Satu suku berarti satu garis keturunan, sedarah istilah
lainnya. Risiko di balik pernikahan sedarah ini bukan main, karena
keturunannya kemungkinan akan mengalami kecacatan hingga kematian. Aturan yang
dibuat bukan serta merta atas keinginan pribadi atau kelompok, namun sudah
diperhitungkan baik-buruknya untuk seluruh manusia.
Setelah tulisan pertama ini, saya jadi ketagihan dan terus penasaran untuk
mengulik lebih banyak hikmah dari kebudayaan lain. Teringat juga bahwa
anak-anak saya masih mewarisi suku ibunya. Terlalu egois bila pelajaran ini
hanya berhenti di saya. Mereka juga berhak mendapatkan dan menerapkan ilmu
bersosial dan ilmu kehidupan dari budaya leluhurnya. Perlahan saya kenalkan
mereka dengan budaya Minang. Seperti saya, walau belum di saat ini, pasti ada
masa mereka bisa memetik pelajaran darinya.
Ya, budaya kita seluar biasa itu. Menyambut dengan baik pasang mata dan
hati yang mau mendekatinya, lalu menghadiahi pelajaran demi menjadi
manusia yang lebih baik lagi.
Jargon "Kalau bukan kita siapa lagi?" memang digaungkan di
Elang Nuswantara. Menyadarkan kami bahwa pasti selalu ada cara bila kita mau,
tak peduli semaju apa pun perubahan zaman yang mengikuti. Namanya saja
kehidupan, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Jawaban untuk bertahan hanya
satu, yaitu beradaptasi.
Manfaatkan Moderenisasi untuk Lestarikan Budaya
Generasi muda saat ini, pemegang tongkat estafet selanjutnya, memiliki kebutuhan yang tidak lagi sama dengan generasi sebelumnya. Kemajuan zaman yang sangat pesat karena tirai-tirai batas yang tersingkap atas kehadiran teknologi dan digitalisasi, memperlebar pintu pengaruh dari belahan dunia mana pun.
Namun, modernisasi ini justru bisa dimanfaatkan untuk melestarikan kebudayaan.
Alih-alih terus fokus akan dampak buruknya, alangkah lebih baik bila
menjadikannya penyokong untuk meresapkan literasi budaya pada kaum muda.
Sesuaikan dengan kehidupan sosial saat ini. Dengan konsep yang tepat, bukannya tidak mungkin minat untuk meneruskan apa yang diwariskan para leluhur bisa terus mengalir dalam darah penerus bangsa.
Seperti saya kemarin, riset budaya pun sangat bisa dilakukan secara virtual.
Hasil tulisan yang kekinian, berhasil pula menggerakkan diri saya untuk
mengenal budaya dengan cara yang tak kalah kekinian. Melalui video
streaming, saya bisa mendengarkan musik, melihat gerak tarian, dan
juga nyanyian daerah. Memanfaatkan foto 360 derajat dari Google Maps, saya
bisa melihat langsung cagar budaya dan kondisi sekelilingnya. Berselancar
membaca artikel digital dari sumber tepercaya juga tak kalah memberi deretan
referensi. Tanpa ke mana-mana, saya bisa mengenali budaya-budaya yang
diinginkan. Kecanggihan saat ini memang memudahkan manusia dalam banyak hal,
termasuk untuk mempelajari budaya. Semoga cara ini juga bisa menginspirasi
teman-teman juga, ya.
Membangkitkan literasi budaya tidak mesti jalannya harus selalu sama. Melalui
karya tulis hanya salah satunya saja. Apalagi di zaman digital sekarang, lebih
banyak lagi cara untuk menyebarluaskan informasi hingga ke berbagai belahan
bumi. Bila kita semua dapat bekerja sama, sangat mungkin menumbuhkan
masyarakat menyeluruh yang literat budaya. Cinta budaya dan mengamalkan
maknanya dalam kehidupan.
Ingatlah, suatu saat kita akan menjadi leluhur. Apa yang kita warisi,
tergantung dari apa yang kita upayakan saat ini.
Referensi:
Pengalaman pribadi
Foto dari dokumentasi pribadi dan bahan yang disediakan oleh penyelenggara
https://prsoloraya.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-1114988128/kenali-6-macam-literasi-dasar-dalam-kurikulum-merdeka-belajar
https://www.balipost.com/news/2023/03/10/327555/Kebudayaan-Sebagai-Energi-Terbarukan.html
https://www.merdeka.com/peristiwa/tren-milenial-baca-buku-semakin-meningkat-genre-fiksi-paling-digemari.html
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/06/08/jenis-buku-apa-yang-paling-laris-di-indonesia
https://lifestyle.okezone.com/read/2018/05/18/196/1899707/jenis-buku-yang-paling-diburu-milenial
No comments
Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)