Meski sudah 7 tahun resign, baru beberapa hari lalu, saya masih juga dibanding-bandingkan dengan ibu bekerja. Menganggap bahwa di rumah itu penuh dengan leha-leha dan santai-santai. Mau menjawab, tapi sudah terlalu basi. Saya lelah menjelaskan bahwa pekerjaan ibu rumah tangga sama saja sibuknya dengan ibu bekerja. Pro dan kontra akan kedua pilihan ibu-ibu ini tak kunjung terlepas dari stigma.
Mirisnya, malah dilontarkan oleh sesama ibu. Entah kenapa, saya pun bingung, seakan merasa lebih hebat dari ibu lain dengan pilihan berbeda. Padahal sama-sama merasakan bagaimana tanggung jawab ibu yang diemban. Saya sangat menjaga ini sejak awal, jangan sampai membandingkan dengan negatif pilihan seorang ibu. Karena disalahkan dan dibandingkan oleh mereka yang tidak tahu apa-apa itu begitu meresahkan.
Baca juga: Ibu Kehilangan Jati Diri, Bisakah Diatasi?
Di tulisan ini, tidak ada niat buruk sedikitpun. Saya hanya ingin memberi referensi agar ibu dapat memilih jalan hidupnya sesuai dengan kebutuhan internal sendiri. Ibu rumah tangga atau ibu bekerja? Kita yang menjalani, kita juga yang paling tahu harus memutuskan apa. Fenomena yang sering menjadi sumber kegalauan ibu-ibu sejagat. Betul, kan? Termasuk saya dulu.
Hilangkan Kata “Versus”
Mungkin saja ini menjadi pemicu kenapa sampai sekarang ada yang menganggap salah satunya menjadi yang terhebat, dan menyalahkan atau meremehkan pilihan lainnya. Seolah ada yang menang dan kalah. Plis, ini bukan soal adu kekuatan.
Coba mulai sekarang kita set ulang apa yang selama ini terlanjur melekat. Mau bekerja atau di rumah, ibu tetaplah seorang ibu. Bukan berarti ibu bekerja egois, dan tidak berarti juga ibu rumah tangga tidak bisa apa-apa.
Ibu rumah tangga itu bukan lawan bagi ibu bekerja. Begitu pula sebaliknya. Harusnya saling mendukung, bukan saling menyalahkan atau saling merasa menjadi yang terhebat. Karena semua ibu itu mutlak manusia yang hebat.
Dengan berdiri di posisi netral, yakin bahwa kita tetap menjadi ibu terbaik apa pun pilihannya, tentunya dengan pertimbangan, pasti akan terasan lebih bebas menentukan mana yang paling tepat.
Percaya Deh, Keduanya SAMA
Ini juga saya tulis dalam satu bab tersendiri di buku Ketika Ibu Resign, tentang suka-duka dan tantangan yang akan dihadapi di kedua pilihan tersebut. Nyatanya, tidak ada istilah leha-leha atau santai-santai.
Lagian mana ada sih ibu yang tidak sibuk? Apalagi kalau anaknya masih kecil-kecil. Tanpa ada yang membantu pula. Wah, membayangkannya saat menulis ini saja energi saya langsung terkuras. Teringat tumpukan pekerjaan yang sudah menanti besok, hehe.
Baiklah, sedikit saya sertakan beberapa contoh yang akan memperjelas. Hanya beberapa karena kalau semuanya ditulis, pasti tidak akan ada ujungnya.
🌸 Ibu Bekerja
Mandiri secara finansial. Punya kesempatan lebih untuk mengembangkan diri. Dibanggakan juga oleh keluarga.
Tapi, dibalik itu semua, ibu bekerja mesti menyisihkan tabungan untuk pengasuh atau ART. Waktu bersama anak jadi lebih terbatas dan kerap dibilang egois. Pikiran sering kali bercabang memikirkan rumah dan kantor. Keduanya jangan sampai campur aduk. Masalah kantor ya kantor, masalah rumah ya rumah. Itu enggak mudah, Bestie!
🌸 Ibu Rumah Tangga
Bisa terus mendampingi anak. Punya waktu yang lebih leluasa untuk mengurus rumah. Kalau berdomisili di kota besar, menjadi kebahagiaan tersendiri karena tidak merasakan macet-macetan pas berangkat dan pulang kerja.
Tapi, tetap ada enggak enaknya. Ibu rumah tangga berpotensi merasa kesepian, dan kehilangan waktu untuk diri sendiri. Kerjaan monoton dan setiap hari hanya menghabiskan waktu di rumah, menghilangkan interaksi bersama orang dewasa lain. Dianggap tidak bisa apa-apa dan dipandang sebelah mata.
Sama saja, kan? Ada kisahnya masing-masing, dengan rutinitasnya masing-masing. Apakah masih pantas bila menganggap salah satunya sebagai yang terbaik? Padahal sama perjuangannya, sama melelahkannya, dan sama tujuannya, yaitu demi anak, keluarga, dan diri sendiri pastinya.
Keduanya pun punya jalan kesuksesan dengan caranya sendiri-sendiri. Apalagi sekarang zaman digital, kadang statusnya ibu rumah tangga, tetap bisa mengembangkan diri di rumah. Ada juga yang resmi jadi ibu bekerja, tapi pekerjaannya bisa dibawa ke rumah. Semakin terlihat sama kan jadinya?
Tidak Ada yang Lebih Baik, Melainkan yang Paling Tepat
Pilihan tepat akan membuat kehidupan ibu lebih positif |
Jujur, saya sempat terganggu. Tidak peduli dengan pertimbangan apa yang melatar belakangi, pokoknya saya salah. Bodoh, tidak bersyukur, bermental lemah, tidak mau mencoba, dan segala penilaian negatif, memenuhi telinga saya.
Tapi, ibu bekerja juga mengalami hal serupa, lo.
Saya mendengar langsung dari teman dekat yang saat itu masih aktif sebagai wanita karier. Dibilang kalau anaknya kasihan karena ditinggal terus bersama pengasuh, ibu hanya mementingkan diri sendiri, dan sebagainya. Setelah dia resign, bukannya mendengar komentar positif, malah dibilang enggak pikir panjang, sayang ijazahnya, cari kerja susah kok malah berhenti.
See, kita tidak akan pernah bisa memenuhi keinginan semua orang. Lagi pula tidak ada gunanya. Mau menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, bukan perkara hal baik dan buruk, salah dan benar. Itu hanya perkara sudut pandang.
Pilihan terbaik itu adalah yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kehidupan kita sebagai ibu.
Misal ibu ingin bekerja, tapi banyak yang menentang karena menurut mereka ibu lebih baik di rumah. Tapi keuangan keluarga sedang tidak baik-baik saja. Atau ibu ingin bekerja lagi agar bisa mewujudkan cita-cita, berhubung anak sudah mulai besar dan mandiri. Tidak ada salahnya. Sah-sah saja, selama tanggung jawab sebagai ibu tidak dilupakan. Haruskah mendahulukan penilaian orang lain?
Begitu pula saat saya memutuskan resign. Ada trauma dalam diri saya yang sulit sekali dimengerti orang lain. Sudah berdiskusi panjang juga dengan suami sebagai rekan hidup, dan keputusannya sudah bulat. Demi anak dan demi kami agar dapat menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua dalam versi terbaik kami. Saya yang paling tahu, saya yang paling mengerti, bukan orang lain.
Lagi pula, membuat semua orang mengerti dan menerima itu adalah sesuatu yang mustahil, bukan?
Makanya, apa pun pilihannya, akan menjadi lebih baik dari yang satunya apabila dapat menjadi pembawa lebih banyak hal positif bagi ibu, setelah melalui pertimbangan yang matang. Tentunya pertimbangan internal, ya. Itu sudah cukup. Karena terkadang kita suka bilang "Nanti apa kata orang?" Padahal ini yang membuat semuanya jadi makin sulit. Fokus ke kita saja.
Ibu Berhak Memilih
Ibu berhak memilih yang terbaik |
Saya selalu menanamkan dalam diri bahwa kini saya sudah dewasa, sudah ada manusia lain yang hidupnya bergantung pada saya. Saya punya kuasa penuh untuk mempertimbangkan dan memilih. Saya yang menjalani, maka hanya saya yang tahu pilihan mana yang paling tepat.
Tidak apa mendengarkan saran, masukan, atau komentar dari orang lain. Tapi itu sifatnya hanya sebagai bahan pertimbangan, bukan sebagai penentu keputusan. Tetap kita sendiri yang punya wewenang itu, jangan biarkan orang lain mengambilnya. Nanti kita sendiri yang bakal tersiksa kalau hidup di bawah bayang-bayang kepuasan orang. Enggak enak banget pasti, kan?
Baca juga: Cara Agar Anak Mengerti Aktivitas Ibunya
So, mau jadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja, ibu bebas memilih. Tentunya harus sesuai dengan kondisi keluarga, kondisi ibu, dan anak-anak. Tidak ada pilihan yang salah. Kalau semuanya sudah sesuai, pasti akan lebih nyaman dijalani. Meski tantangan selalu ada, kita pun punya sumber kekuatan untuk menghadapi. Karena itu pilihaan kita, pilihan kita sebagai ibu.
Semoga bermanfaat.
No comments
Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)