"Mau lapor ke siapa lagi? Anak saya dirundung, tapi sekolah belum kunjung memberi penyelesaian."
Teman sesama ibu yang saya kenal dari sebuah komunitas, menceritakan apa yang tengah menjadi beban pikirannya saat terakhir kali kami berjumpa. Bagaimana tidak, anak yang seharusnya bisa menjalankan proses belajar nyaman dan aman di satuan pendidikan, malah menjadi sasaran aksi kekerasan. Sudah berusaha berdiskusi dengan pihak sekolah berkali-kali, tapi tak kunjung ada solusi.
"Mbak, kasus kekerasan anak di sekolah, bisa lo dilaporkan secara online ke kemdikbud.lapor.go.id atau hotline 129. Misal memang belum bisa diselesaikan di tingkat sekolah, bisa banget dilanjutkan ke UPT PPA, P2TP2A, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan. Karena dasar hukumnya ada."
Memang tidak banyak yang bisa saya bantu dalam kasus perundungan ini. Hanya sebatas memberi informasi, yang kebetulan saya miliki. Tapi ternyata, teman saya benar-benar belum tahu bahwa ternyata kasus perundungan bisa dilaporkan secara online, serta jenjang instansi apa saja di atas sekolah yang bisa dijadikan pilihan untuk menerima aduan. Setidaknya, dengan yang "sedikit" itu, bisa menjadi referensi dalam upaya beliau mencari keadilan dan menghentikan kekerasan.
Jujur, hati saya selalu ikut terenyuh setiap kali menyaksikan aksi kekerasan yang menimpa anak-anak. Mungkin karena saya juga memiliki anak. Anak yang mati-matian dibesarkan orang tuanya dengan penuh kasih sayang, tapi di luar sana masih banyak ancaman kekerasaan. Bahkan di lingkungan pendidikan yang seharusnya dapat dipercaya. Gimana bisa tenang?
Tentu harus ada kesadaran, pemahaman dan peran semua pihak, agar hak anak-anak kita untuk hidup aman dan memperoleh perlindungan dapat terwujud.
Mari Bicara Fakta
Kalau dihitung jelas, lebih dari 5.400 anak sudah mengalami kekerasan di tahun ini. Padahal belum memasuki tengah tahun, lo. Memilukan, bukan?
Masih berdasarkan data yang digeneralisasikan, jenis kekerasan yang dialami korban adalah berupa fisik, psikis, seksual, eksploitasi, trafficking, penelantaran dan lainnya. Tempat kejadiannya pun beragam, mulai dari rumah tangga, tempat kerja, sekolah, fasilitas umum, hingga lembaga pendidikan diklat.
Bila kita dekatkan dengan kehidupan anak, nyaris semua jenis kekerasan ini bisa mereka alami. Sedangkan tempat kejadiannya, rumah tangga, satuan pendidikan dan fasilitas umum adalah yang paling memungkinkan. Membayangkan anak-anak diperlakukan dan disakiti seperti itu, saya bertanya-tanya, kok bisa tega?
Malah semakin melihat data lebih rinci, semakin membuat saya merinding. 7,4% korban kekerasan ini ternyata masih berusia 0-5 tahun. Sekitar 700 anak! Sebanyak itu dan masih sekecil itu. Lebih mematahkan hati lagi, orang tua yang sepatutnya melindungi anak, justru menjadi pelaku nomor tiga terbanyak dalam kasus kekerasan yang tercatat di tahun ini.
Saya saja yang membentak, atau saking emosinya memukul pelan kaki anak ketika mereka lagi "pintar-pintarnya", bisa menangis dan menyesal dalam waktu lama. Kalau teringat lagi, tetap saja lukanya masih tersisa. Benar-benar di luar logika saya bila kenyataannya ada orang tua yang sampai hati menyakiti anak sendiri hingga dilaporkan dalam sebuah kasus kekerasan.
Sudah selayaknya data-data ini menjadi pelajaran kita bersama bahwa kekerasan pada anak harus segera dihentikan. Bukan hanya karena rasa kemanusiaan, atau intuisi kita sebagai orang tua untuk menjaga anak-anak, negara pun sebenarnya sudah mengeluarkan payung hukum untuk melindungi kehidupan generasi bangsa. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta Permendikbud Nomor 82 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Malah bisa juga dijerat pasal KUHP, lo.
Bila sudah ada aturan jelas dan hukumannya pasti ada, lalu kenapa ya masih banyak terjadi kasus kekerasan pada anak?
Kekerasan pada Anak adalah Sebab-Akibat
Sedikit cerita, pernah terjadi kehebohan di rusun tempat saya tinggal karena ada anak yang dengan sengaja didorong hingga terjatuh oleh orang tua temannya. Kabar yang beredar, ini disebabkan oleh keisengan ala anak-anak yang terkadang suka jahil atau mengganggu teman sepermainannya. Sayangnya, tidak ada pertemuan dan kata damai setelah itu. Kalau khilaf, harusnya langsung minta maaf kan? Tentu saja ini mengundang banyak kecaman dari sesama orang tua rusun. Bagaimanapun, tidak ada pembenaran yang dapat diterima ketika orang tua melakukan kekerasan, apalagi pada anak orang lain, dan di depan anaknya sendiri pula.
Ingat, anak itu peniru ulung.
"Your children will become who you are, so be who you want them to be." - David Bly
Ini yang saya maksud kebiasaan sehari-hari yang kita anggap wajar, namun berpeluang melahirkan mata rantai baru kasus kekerasan. Kejadian tadi membuktikan bahwa masih ada orang tua yang tidak bisa mengendalikan emosi, berbuat semena-semena karena merasa lebih kuat, dan menyelesaikan masalah anak dengan cara yang keliru. Memang sih orang tua memiliki naluri untuk membela anak, terlepas anaknya salah atau tidak, tapi bukan dengan memperpanjang masalah, apalagi sampai menyakiti anak lain, yang sama-sama kita tahu bahwa mereka masih anak-anak. Pola pikir dan kemampuan bersosialnya masih perlu banyak bimbingan.
Kalau sedari kecil sudah diperlihatkan hal-hal yang identik dengan kekerasan, pasti anak akan menganggap itu sesuatu yang biasa. Termasuk melakukannya juga pada orang lain.
Kekerasan ditandai dengan adanya PAKSAAN dari salah satu pihak yang BERKUASA pada pihak lainnya. Yang berkuasa ini adalah pelaku, dan pihak lain yang dipaksa adalah korban.
Itu baru satu contoh. Ada hal menarik lain yang beberapa waktu lalu baru saja saya dapatkan dari diskusi ringan bersama teman-teman komunitas yang fokus di bidang ini. Berbicara seorang psikolog di antara kami, mengenai kebutuhan psikis anak di usia dini, yang nantinya terkait dengan kemungkinan dia akan menjadi korban atau pelaku kekerasan sesuai pola asuh yang diterapkan. Kira-kira begini rangkumannya.
Anak di bawah usia Sekolah Dasar awal, mengalami apa yang dinamakan fase egosentris, yaitu menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian dan melihat segalanya dari sudut pandang sendiri. Jangan heran bila dalam usia ini, banyak anak yang tantrum dan sulit menerima pandangan orang lain. Pokoknya "aku" lebih penting.
Ketika anak egosentris dipaksa mengalah dengan keadaan, misal harus selalu mengerti dengan kondisi yang membuatnya kurang diperhatikan, atau yang sering juga kejadian adalah dianggap sudah mampu menjadi kakak yang dewasa padahal usianya juga masih balita, maka ini akan memupuk sikap enggak enakan dan mementingkan kebutuhan orang lain dibanding kebutuhan dirinya. Anak-anak inilah yang berpotensi menjadi korban kekerasan.
Sebaliknya, ketika anak dalam fase egosentris selalu diagungkan, dipenuhi segala kemauannya tanpa terkecuali, atau dimanja berlebihan, ini malah akan berdampak pada kecenderungan mengabaikan keadaan orang lain demi dirinya sendiri, atau singkatnya disebut intoleran. Anak-anak ini yang akhirnya berpeluang menjadi pelaku kekerasan.
Real banget kan dengan kehidupan para orang tua? Informasi semacam inilah yang sebenarnya akan banyak membantu dalam mencegah kekerasan pada anak. Dimulai dari lingkup terkecil, yaitu keluarga. Andai saya tidak ikut diskusi, mungkin saya belum tahu apa itu fase egosentris dan besarnya dampak dari pengasuhan orang tua dalam fase ini. Bahkan bisa menjadi salah satu faktor penentu anak akan menjadi pelaku atau korban kekerasan di masa mendatang.
Wajar bila peran sebagai orang tua dikatakan sebagai masa belajar seumur hidup. Karena memang diperlukan kemauan untuk belajar agar pengasuhan yang diterapkan ada dasar ilmunya. Terlalu rugi bila menyia-nyiakan sumber belajar berlimpah yang bisa dinikmati di era digital ini.
Ketidaktahuan dan belum terbukanya akses pada sumber informasi mengenai kekerasan pada anak, menjadi awal dari banyaknya kasus kekerasan. Intinya, harus tahu dulu untuk bisa sadar dan peduli.
Dari sedikit cerita yang saya tuliskan ini, jelas yang paling dibutuhkan adalah bekal edukasi yang harus dimiliki orang tua. Jadi ketika ada masalah seperti ekonomi, pekerjaan, hubungan dengan pasangan atau apa pun yang tidak ada keterkaitannya dengan anak, tidak semudah itu mengorbankan, mengabaikan atau melampiaskan amarah pada manusia mungil yang tidak sepantasnya menerima.
Tidak mungkin pula anak bisa langsung paham bagaimana melindungi diri dari kekerasan, atau otomatis mengerti bahwa menyakiti orang lain adalah tidak kejahatan yang bisa dijerat hukum. Justru upaya ini dimulai dari orang tuanya dulu, baru bisa diteruskan ke anak.
Kalau semua orang tua mau untuk lebih aktif memperkaya diri dengan informasi dan edukasi mengenai kekerasan pada anak, seminimal-minimalnya akan dapat melindungi anak sendiri dan anak-anak di circle terdekat.
Agar tidak ada lagi kejadian orang tua yang dengan mudahnya melakukan kekerasan fisik pada anak lain, meski berdalih untuk membela anak kesayangan. Padahal bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik, dan orang tua dari masing-masing anak pun bisa duduk bersama mencari solusi.
Supaya jangan ada lagi orang tua yang tidak tahu mesti berbuat apa ketika anaknya menjadi korban atau pelaku kekerasan. Karena sekolah, tingkat instansi di atas sekolah, hingga Kemdikbudristek, membuka sebesar-besarnya jalan untuk melapor dan membantu menyelesaikan.
Saya dan Konten, Pendekatan Menarik yang Efektif
Masih ingat berita viral siswa Sekolah Dasar yang bunuh diri karena di-bully tidak punya ayah? Ejekan anak-anak yang terkadang dianggap biasa, ternyata bisa berdampak begitu besarnya pada mental anak. Andai saja saat itu orang tua tahu harus berbuat apa ketika Sang Anak mengeluhkan perundungan dan menolak bersekolah, serta andai saja tenaga pendidik bisa lebih peka dan tidak lagi menyepelekan apa pun bentuk perundungan, mungkin saja tali itu tidak pernah sampai menggantung lehernya. (Sumber berita: detik.com)
Lagi-lagi, kita semua butuh apa yang namanya informasi dan edukasi.
Tumbuh kembang, pendidikan, dan proses hidup anak lainnya, kalau sudah dirusak oleh kekerasan, tidak akan lagi berjalan dengan baik dan maksimal. Sebagus apa pun program dan fasilitas yang diberikan.
Makanya, ingin sekali rasanya untuk dapat membagikan sedikit yang saya punya pada orang tua lain di luar sana, tentang segala bentuk upaya dalam menghentikan aksi kekerasan pada anak. Tidak ada nilai besar atau kecil dalam berbagi kebaikan, meski baru punya sedikit, paling tidak, bisa menambah informasi dan kesadaran banyak pihak, terutama orang tua, agar tergerak untuk melakukan kebaikan yang sama.
Dan konten adalah upaya yang paling memungkinkan dan menyenangkan untuk saya lakukan, serta sangat sesuai dengan kondisi saya yang lebih banyak di rumah saja. Maklum, masih ada dua anak yang mesti di jaga. Jadi, rumah adalah satu-satunya tempat yang begitu membebaskan saya untuk berdaya. Sharing saja, inilah alasan terbesar kenapa saya memilih berkonten sebagai sarana untuk berkontribusi dalam menekan kasus kekerasan pada anak.
Salah satu konten Instagram Reel saya yang sederhana, tapi tetap ada poin manfaatnya
-
Sebagai Pengingat dan Bermanfaat
Kalau hanya sebatas tahu, lalu ilmunya tidak diapa-apakan lagi, pasti tak butuh waktu lama untuk lenyap dari ingatan. Dengan mengontenkan informasi yang saya dapat terkait kekerasan pada anak, otak saya bisa merekam dengan lebih baik. Kalau pun lupa beberapa bagiannya, tinggal buka kembali konten-konten yang saya unggah. Simpelnya seperti artikel yang saya tulis ini, termasuk sebuah konten yang kembali mengingatkan saya untuk lebih bijak lagi membersamai anak-anak yang masih dalam fase egosentris. "Jangan terlalu dimanja, tapi jangan pula lupakan kebutuhannya untuk lebih diperhatikan dan dihargai. Agar kepribadian anak-anak bisa lebih matang sejalan dengan pertambahan usia mereka."
Selain untuk diri sendiri, konten ini punya kekuatan jangkauan yang luar biasa. Dalam hitungan detik saja, tanpa perlu bertatapan langsung dengan orang-orang di luar sana, apa yang saya unggah bisa dibaca dan diambil manfaatnya. Memang enak hidup di zaman digital seperti ini kalau bisa melihat sisi positifnya. Penyebaran informasi menjadi lebih cepat dan efektif dengan memanfaatkan panggung media sosial atau platform berbagi lainnya.
-
Bebas Meski Tidak Ke Mana-mana
Enggak ke mana-mana kok bisa bebas? Bisa, dong. Dengan mengunggah konten, sebenarnya kita sudah menemui banyak orang. Kita hadir melalui konten tersebut. Betul, kan?
Membuat konten kan tidak mesti harus ke luar rumah, karena sangat bisa dikerjakan dalam satu tempat saja. Makanya penting memilih style berkonten yang paling mudah untuk dilakukan sesuai dengan kondisi masing-masing. Seperti konten saya yang mayoritas berupa carousel dan video ngomong doang tanpa perlu effort lebih untuk rekam sana-sini. Soalnya saya hanya sendiri, pastinya cara ini akan jauh memudahkan. Bebas juga mau membuatnya kapan, pagi setelah sarapan, di sela-sela mengawasi anak bermain, atau malam pas suasana jauh lebih hening.
-
Tenyata Mendapat Respon yang Baik
Meski ini bukan parameter utama yang saya tergetkan dalam berkonten, tapi nyatanya apa yang saya bagi mengenai kekerasan pada anak, cukup direspon baik oleh para pengguna media sosial, termasuk juga blog dan UGC (User Generated Content). Ada yang berkomentar, membagikan kembali di akun mereka, atau bisa dilihat dari pageview di konten tulisan. Pastinya ini memberi semangat lebih untuk terus berbagi, dan sebagai penanda bahwa informasi seputar kekerasan punya nilai manfaat yang dibutuhkan. Pendapat saya, ini dikarenakan segala hal terkait kekerasan pada anak, sangat mudah menyentuh hati.
Tidak dapat dipungkiri juga, gaya hidup masa kini yang sudah beralih ke digital, sangat berpengaruh pada kebutuhan akan konten. Mulai dari penyampaian informasi, edukasi, hiburan, promosi, branding, hingga menjadi sumber pendapatan bagi para content creator. Jangankan kita yang orang biasa, para public figure, perusahaan, lembaga atau instansi, hingga para pejabat, butuh konten untuk menyampaikan sesuatu. Konten ini terbukti sangat efektif dalam penyebarluasan informasi. Yang biasanya harus gelar acara atau menemui satu per satu pasang mata, kini hanya dengan sekali unggah, sudah bisa menyebarluaskannya ke seluruh negeri, bahkan dunia.
Nah, bagi teman-teman yang juga ingin berkonten, terutama untuk sama-sama membantu menekan kasus kekerasan pada anak, berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan. Tenang, tidak akan ada tekanan dan memberatkan.
1. Gali Informasi/Riset
Cerdas Berkarakter, channel YouTube dari Kemdikbudristek yang bisa dijadikan referensi |
Beberapa yang menarik untuk dikunjungi adalah media sosial Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), atau kalau yang terkait dengan dunia pendidikan adalah kanal-kanal dari Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek). Asik sekali belajar dari sini, karena kontennya sudah didesain menarik dan mudah dipahami. Kalau disertai dengan pengalaman atau informasi tambahan lain yang didapatkan secara langsung, lebih bagus lagi. Mana tahu ada teman psikolog anak yang berbagi cerita, ikut webinar/sosialisai tentang kekerasan pada anak, atau bergabung dalam komunitas tertentu yang concern dalam hal ini.
Intinya, dengan searching, sudah sangat bisa menemukan bahan untuk dibagikan dalam konten nantinya. Cukup ringan, kan? Ini tuh enggak jauh-jauh dari yang selalu kita lakukan sehari-hari.
2. Tentukan Jenis Konten dan Medianya
Selanjutnya, tentukan konten mau diunggah di mana. Tergantung kenyamanan saja. Kalau sukanya nulis yang pendek-pendek, ada Twitter. Nulis lebih panjang, bisa menulis di blog pribadi atau UGC seperti saya. Atau mau berupa microblogging yang saat ini lagi hits, ada carousel Instagram. Tertarik bikin video karena kayaknya lebih berbakat public speaking, ada Instagram Reels atau YouTube.
Banyaknya pilihan platform ini membuat kita semakin bebas untuk berkonten. Kuncinya "bebas", ya. Bukan malah memancing kebingungan. Apalagi sekarang bisa mirroring, satu konten bisa di-share di banyak platform. Lebih efisien lagi langkah kita.
3. Bikin Draft dengan Detail
Biasanya, draft yang saya buat itu sudah lengkap tulisan apa yang mau ditulis dalam microblogging, rencana gambar yang akan disertakan, serta sudah ada template milik sendiri. Begitu pula untuk konten video, sudah ada kata-katanya, rekaman apa saja yang mau diambil dan urutannya. Konten blog, malah lebih sederhana lagi, cukup poin-poin besarnya saja. Inilah yang menjadi panduan saat pembuatannya nanti.
4. Waktunya Ngonten!
Merekam dan editing di handphone |
Sedangkan untuk microblogging, malah lebih cepat kalau sudah ada draft tulisan dan template-nya. Ibaratnya tinggal templokin doang, selesai. Paling yang membuat sedikit lama kalau ada gambar yang mesti dipilih-pilih dari aplikasi atau mencari manual di website penyedia gambar gratis. Jangan lupa untuk tetap di cek agar hasilnya lebih maksimal. Kalau sudah selesai, tinggal unggah, deh. Done!
Misalnya saat saya membuat konten tentang 3 dosa besar di dunia pendidikan. Awal tahunya dari program komunitas, lalu penasaran dan searching. Ternyata banyak sekali artikel yang membahas ini karena pernyataan langsung dari Menteri Kemdikbudristek, Nadiem Makarim. Dirasa cukup singkat dan jelas poin-poinnya, saya mencoba menuangkannya kembali dalam carousel Instagram. Prosesnya sama seperti yang saya jelaskan sebelumnya, bikin draft-nya dulu, lalu mendesain microblogging di platform desain online. Tinggal tarik-tarik gambar dan ketik-ketik tulisan, selesai!
Beberapa konten saya tentang kekerasan pada anak |
_______
Ke depannya, saya berharap lebih siap untuk membahas masalah kekerasan seksual.
Kasusnya yang terus bertambah akhir-akhir ini, menjadi pemantik semangat saya. Hanya saja, saya masih bingung mau mengemasnya seperti apa. Takut terlalu fulgar dan menimbulkan ketidaknyamanan, di tengah masih tabunya pembahasan seksual dalam masyarakat kita.
Bak gayung bersambut, niat baik yang masih takut-takutan ini, seolah mendapat pencerahan. Kembali dari teman sesama ibu, tentunya sosok ibu berdaya yang saya kagumi, saya mendapatkan tips asyik melindungi anak dari kekerasan seksual.
"Saya masih memakai cara yang diajarkan oleh ibu saya, yaitu dengan mengenalkan fungsi dari seluruh bagian tubuh kita. Dengan mengetahuinya, anak akan paham bagian mana saja yang seharusnya ditutupi dan bersifat privasi. Kalau ingin lebih menarik, manfaatkan saja poster atau buku anak yang membahas anggota tubuh. Kan sekarang banyak tuh, tinggal pilih yang gambarnya bagus dan sesuai usia."
Oh, benar juga, ya. Pikiran saya saja yang terlalu ribet, atau mungkin terbatas. Dengan edukasi yang seru, ternyata sangat bisa dijadikan cara untuk melindungi anak dari kekerasan seksual sejak dini. Yang sudah jadi orang tua, pasti tahu betul kalau ada masanya anak bertanya banyak hal tentang tubuhnya. Inilah waktu yang tepat untuk memperkenalkan dan mengajarkan. Selipkan lagu Sentuhan Boleh, Sentuhan Tidak Boleh, makin mantap dan lengkap.
Sekarang saya lagi mencari kesempatan untuk mewujudkannya dalam konten. Semoga bisa segera terealisasi. Semangat!
Seksualitas anak sudah berkembang sejak dini, yaitu ketika anak mulai memunculkan rasa ingin tahu terhadap tubuhnya sendiri, termasuk rasa ingin tahu terhadap alat kelaminnya. Ini menjadi saat yang tepat bagi orang tua untuk mengajarkan konsep privasi atau menjaga alat kelamin dari orang lain, selain orang tua yang mengurusinya.
- Buku Anti Panik Mengasuh Bayi 0-3 Tahun
Eh, tapi kalau seandainya ada teman-teman yang bisa membuat konten menarik mengenai ini, boleh banget menggunakan informasi yang barusan saya tulis sebagai bahan. Saya malah sangat berterima kasih, karena makin banyak yang peduli. Manfaatnya kan untuk bersama, untuk anak-anak kita juga.
_______
Oiya, ngomong-ngomong soal konten, dan bercerita panjang mengenai aktivitas berkonten saya yang masih butuh banyak belajar ini, jadi ingat akan koneksi internet yang memfasilitasi dengan sangat baik sampai sekarang. Bersyukur rasanya internet provider IndiHome yang terpasang bertahun-tahun di rumah mungil kami, berhasil mengantarkan saya menjadi pribadi yang lebih produktif dan menumbuhkan keinginan untuk tetap bermanfaat bagi orang lain. Meski secara mobilitas, saya sudah tidak lagi sebebas dulu. Mulai dari menggali informasi, mencari referensi, menulis, mendesain dan editing konten secara online, hingga proses download dan upload, nyaris tidak ada kendala.
Bisa dibilang setengah dari lahirnya konten-konten saya, termasuk mengenai kekerasan pada anak, adalah karena dukungan internet lancar dan stabil dari IndiHome.
Internet IndiHome, Bikin Berkonten Semakin Intens
Perangkat IndiHome untuk internet cepat di rumah |
Sumber: indihome.co.id |
IndiHome telah memiliki 171.654 km jaringan fiber optik di seluruh Indonesia, yang menghubungkan 496 ibukota, kabupaten dan kota. Panjang ini setara dengan 4 kali keliling bumi!
Untuk urusan berkonten, IndiHome sangat mumpuni.
Saya termasuk orang yang inginnya konten itu memiliki kualitas maksimal untuk gambar dan video. Pokoknya yang berupa visual, kualitasnya sangat menentukan. Coba deh bandingkan, lebih menarik mana konten yang ngeblur, atau konten yang detailnya oke? Pasti lebih nyaman melihat visual yang jelas, kan? Dan IndiHome sangat membantu saya untuk mengunggah setiap konten berkualitas tinggi, dan ukuran filenya juga lebih besar, dengan lancar dan nyaris tak ada kendala.
IndiHome juga membantu saya lebih fleksibel membuat konten.
Masih sulitnya menyusun jadwal tetap untuk aktivitas diri sendiri, risetnya sekarang, bikin draft-nya butuh berhari-hari, eksekusinya pernah sampai seminggu, tinggal unggah doang, malah tertunda lagi karena harus mendahulukan anak-anak. Ya, saya bisa selama itu untuk menghasilkan satu konten sampai selesai. Makanya, internet yang siap sedia kapan saja untuk digunakan, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, saya tetap bisa menikmati proses ini. Kalau internetnya tidak mendukug, padahal mencari waktu untuk berkonten saja butuh perjuangan, belum tentu saya bisa intens melakukannya.
Inginnya juga mencoba konten live, sudah ada dalam daftar rencana dan beberapa teman yang di ajak ngonten bareng. Selama ini selalu lancar untuk webinar atau meeting online, yakin banget kalau melakukan konten live pasti juga lancar. Konsepnya kan sama.
Harganya? Menurut saya, sesuai dengan fasilitas yang kita dapatkan. Malah lebih hemat pakai IndiHome bila lebih banyak beraktivitas di rumah dari pada di luar.
Kebetulan di rumah saya sekarang, menggunakan jaringan IndiHome untuk gedung. Jadi harga per bulannya di tentukan oleh pengelola bangunan (rusun). Namun harga ini tidak jauh beda dengan IndiHome yang terpasang di rumah mertua saya di Ungaran, Semarang, dan kampung halaman saya di Padang. 300 ribuan per bulan, sekeluarga bebas menggunakan internet. Meski digunakan bersamaan, tetap lancar. Ada fasilitas TV interaktifnya pula.
Kalau teman-teman ingin menikmati promo-promo menarik dan paket-paket IndiHome lainnya, mana tahu kebutuhan kita berbeda, bisa langsung mengunjungi website IndiHome. Di sana selalu update, kok.
Beberapa promo paket internet IndiHome | Sumber: indihome.co.id |
Soalnya saya suka sebal ketika ada orang yang mengeluhkan internet lelet, lalu dengan gampangnya mengecap jelek. Padahal kecepatan paket internet yang dipilih jauh di bawah kebutuhan pemakaian. Terlebih internet tersebut digunakan bersama-sama, tentu harus diperkirakan berapa orangnya dan aktivitas apa yang dilakukan. Jadi, pastikan kecepatan internet yang dipilih sesuai dengan kebutuhan, ya. Karena ini pengalaman saya dan sangat sering terjadi di sekitar saya.
Satu lagi nih yang sedang saya tunggu-tunggu, Telkom Indonesia akan segera mengintergrasikan IndiHome ke Telkomsel untuk menghadirkan layanan Fixed Mobile Convergence (FMC).
Layanan ini memadukan seluler dengan fixed broadband (Wi-Fi), sehingga hanya dengan satu provider, sudah dapat menikmati akses internet di mana pun, baik di rumah, maupun di luar rumah. Jadi bisa saling melengkapi satu sama lain.
Sudah terbayang oleh saya akan bisa berkonten dengan lebih leluasa dengan kehadiran FMC ini. Sebanyak apa pun waktu yang saya habiskan di rumah, pasti akan ada juga saatnya untuk bepergian atau liburan. Bakal lebih praktis soal koneksi! Baik IndiHome maupun Telkomsel, keduanya sama-sama produk unggulan untuk internet rumah dan selular di Indonesia. Kalau bergabung dalam layanan yang lebih lengkap, hasilnya tentu akan jauh lebih maksimal.
Sesuai sekali dengan tagline Telkom Indonesia yang saya baca di website-nya,
"Kami Menghadirkan Dunia dalam Genggaman."
Dari saya, terima kasih IndiHome, karena sudah menyediakan internet cepat, lancar dan stabil, yang sangat membantu saya dalam beraktivitas daring. Semoga IndiHome dapat memfasilitasi lebih banyak lagi para orang tua, tenaga pendidik, serta segala pihak terkait, dalam upaya menciptakan kehidupan yang aman bagi anak.
Bersama Hentikan Kekerasan pada Anak, Dimulai dari Hal-Hal Sederhana yang Kita Bisa
Seperti saya dan konten-konten sederhana yang masih dibuat semampunya, dengan peralatan seadanya, serta dengan keterbatasan ilmu yang masih jauh dari sematan gelar ahli dan profesional.
Kenapa harus menunggu menjadi "orang besar" atau terkenal dulu, bila dengan apa adanya diri kita yang sekarang, sudah bisa memberi kontribusi untuk menghentikan aksi kekerasan pada anak?
Apalagi sekarang media digital mulai menguasai akses penyaluran informasi dan edukasi. Berkonten di media sosial, walau hanya satu kalimat atau satu unggahan foto dan video, akan dapat memberi pengaruh pada ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang. Jutaan dari konten orang biasa macam kita? Ya, saya mengenal teman sesama blogger yang bisa menjangkau jutaan pengguna dari akun Instagram yang dikelola sendiri. Bahkan saya pernah numpang promosi juga di sini.
Ditambah lagi adanya akses internet cepat dari IndiHome yang siap menunjang aktivitas berkonten kita, bakal membuat prosesnya semakin lancar. Dari pada scroll konten orang terus, tidak ada salahnya bila sesekali konten kita yang di scroll orang.
Yuk, bersama hentikan aksi kekerasan pada anak, dimulai dari hal sederhana yang kita bisa. Percaya deh, tidak ada yang sia-sia ketika niat baik menyertai sebuah upaya. Apalagi kalau upayanya dilakukan bareng-bareng.
Semoga bermanfaat.
Referensi
tekom.co.id
indihome.co.id
SIMFONI-PPA. URL: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
Siswa SD Bunuh Diri Imbas Di-bully, Pemerhati Anak: Guru-Sekolah Tak Peka!. URL: https://www.detik.com/edu/sekolah/d-6601933/siswa-sd-bunuh-diri-imbas-di-bully-pemerhati-anak-guru-sekolah-tak-peka
Selamat Mbak Nov untuk artikelnya ini mendapat juara 2. Kalau gak ada artikel ini saya pun juga gak tahu kekerasan anak itu bisa dilaporkan ternyata ya, Mbak. Data kekerasan anak pun gak sedikit jugaðŸ˜
ReplyDeleteJadi orang tua gak mudah ya, Mbak. Semoga kita termasuk orang tua yang peka dan mau belajar
Alhamdulillah makasih, Mbak Jul :)
DeleteBetul, Mbak. Kita sebagai orang tua jadinya mesti banyak-banyak nyari info juga biar bisa membekali dan melindungi anak-anak.
Semoga anak-anak kita selalu dipertemukan dengan lingkungan yang baik yaaa