Takjub sekali rasanya, ketika aktivitas menulis yang saya senangi, bisa menjadi jembatan untuk melestarikan budaya Indonesia. Bahkan sebelumnya tak pernah terlintas sedikit pun bahwa saya akan mempelajari budaya sesemangat ini. Demi bisa mengabadikannya, menyampaikannya dan menjaga kelestariannya.
Melahirkan dua buku antologi cerpen roman budaya yang mengangkat budaya kampung halaman saya, yaitu Minang, menjadi prestasi membanggakan yang memberi banyak pelajaran. Bisa dibilang semua prosesnya dimulai dari level terbawah. Saya tak berpengalaman menulis fiksi, apalagi menyelipkan unsur budaya di dalamnya. Bagaimana mengemasnya agar berpadu menghasilkan alur cerita yang menarik dibaca, pastinya butuh perjuangan.
Tentu saja saya banyak belajar. Mengikuti kelas dan melakukan riset semaksimal yang saya bisa. Apakah mudah? Tidak bagi saya yang masih pemula. Namun, tidak pula sepenuhnya susah, karena ada internet yang mendukung dan memfasilitasi setiap usaha.
Saya belajar melalui kelas online dan berbagai webinar.
Saya melakukan riset dengan mengandalkan berbagai artikel, video dan fitur-fitur online.
Saya mengikuti proyek menulis buku antologinya pun juga berjalan secara daring.
Sampai buku tersebut terbit, bangga sekali rasanya bahwa ibu anak dua seperti saya, yang dengan segala keterbatasannya, berkesempatan berkarya sekaligus berkontribusi melestarikan budaya, meski hanya dari rumah.
Aktivitas menjadi tanpa batas dengan manfaat internet yang tak terbatas.
Setuju?
Kenapa Melestarikan Budaya itu Penting?
Sumber foto: referensi.data.kemdikbud.go.id |
Ketika saya masih tinggal di Padang, seolah tidak ada yang spesial dengan budaya Minang. Rumah Gadang, bahasa, adat dan tradisi, menjadi hal biasa yang saya anggap biasa. Saya menyaksikannya setiap hari, menjalani hidup berpuluh tahun di tengah masyarakat yang menerapkannya sebagai gaya hidup.
Setelah merantau ke Jakarta, di mana menjadi ibukota yang dipadati oleh penduduk dari berbagai penjuru negeri, barulah saya sadar betapa bermaknanya budaya tersebut sebagai identitas. Ada rasa bahagia setiap memperkenalkan diri sebagai orang Minang, apalagi kalau ada yang tertarik bertanya tentang budaya Minang yang saya ketahui.
Benar adanya bahwa budaya bisa mencerminkan jati diri. Berkumpul bersama orang-orang beragam suku, jadi tahu bagaimana wataknya, kebiasaannya dan spiritualnya.
Contoh menarik dan paling dekat yang saya rasakan adalah perbedaan antara saya dan suami yang bersuku Jawa. Kalau sunatan anak laki-laki di Jawa dirayakan secara besar-besaran, di Minang malah tak pernah ada perayaan sama sekali. Makanya suami mempersiapkan acara untuk anak kami nanti saat disunat, sedangkan saya tak terlalu antusias. Muncullah sikap toleransi, yang tentunya kita semua tahu bahwa Indonesia terkenal dengan tolerasinya yang tinggi. Bukti bahwa kebudayaan menentukan kehidupan bermasyarakat.
Sekarang saya mengerti kenapa pemerintah tak pernah lelah mengajak seluruh rakyatnya untuk melestarikan budaya. Budaya itu adalah tanda pengenal, penentu bagaimana negara lain mengenal Indonesia, serta bagaimana Indonesia dapat dikenal di manca negara. Kalau identitas itu dicuri, sama saja dengan mencuri jati diri kita, bukan?
Cara satu-satunya agar budaya tersebut tak dicuri adalah dengan menjadikan Indonesia sebagai pemilik sahnya. Bila menjadi pemilik, pasti akan berupaya semaksimal mungkin agar sesuatu yang dimilikinya selalu dalam kondisi terbaik, dengan menjaga dan merawatnya.
Saya yakin, tidak ada satu pun manusia yang membiarkan begitu saja apa yang menjadi miliknya dengan semena-mena diambil orang. Bahkan untuk pulpen yang harganya beberapa ribu saja, kalau tiba-tiba hilang dan lima menit kemudian terlihat dipakai teman, diakui milik dia pula walau jelas-jelas ada tanda tipe-x kecil di bagian atasnya yang sengaja dibuat agar berbeda dengan yang lain. Pasti kesal rasanya. Nostalgia masa sekolah yang tepat sekali untuk dijadikan analogi perihal budaya ini.
Itulah sudut pandang sederhana saya tentang pentingnya melestarikan budaya. Mungkin teman-teman bisa membaca penjelasan lebih teknisnya di berbagai situs atau artikel kebudayaan yang ditulis oleh mereka yang lebih ahli dan berkompeten. Namun bagi saya yang bukan ahli, sudut pandang ini cukup menyadarkan bahwa budaya kita sudah selayaknya dijaga.
Saking banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia, tentu tugas pelestarian tak akan ampuh bila hanya dilakukan beberapa pihak saja. Butuh gandengan tangan kita semua agar tak ada celah. Celah kehilangan, kepunahan atau pengabaian yang merugikan. Kita semua punya peran, dan sudah seharusnya juga berperan.
Statistik Kebudayaan 2021, Kemendikbud |
Berdasarkan Statistik Kebudayaan 2021 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tercatat 1635 Cagar Budaya (CB) dan 1239 Warisan Budaya Takbenda (WBTb) yang sudah ditetapkan. Bisa jadi akan terus bertambah, karena setiap tahunnya, selalu ada penambahan yang membuktikan bahwa Indonesia jauh lebih kaya dari apa yang terdata.
Meski banyak, kalau tak dijaga, satu per satu mungkin saja akan hilang. Paling berbahayanya itu kalau sampai diklaim oleh negara lain seperti yang beberapa waktu lalu sempat bikin heboh senegara, yaitu Reog yang terpajang dalam salah satu situs Kementerian Kebudayaan negara tetangga. Padahal kita tahu betul bahwa Reog Ponorogo sudah menjadi kebanggaan Indonesia. Mirisnya, dalam artikel detik.com yang tayang September 2021 lalu, masih ada Pencak Silat, Wayang Kulit, lagu Rasa Sayange, Batik, Rendang dan beberapa budaya Indonesia lain yang juga hampir diakui sebagai milik negara lain.
Wah, ketika membaca tentang rendang, yang jelas-jelas menjadi makanan khas daerah Sumatera Barat dan pernah tercatat sebagai makanan terlezat di dunia, emosi saya jelas ikut terpancing. Mana mungkin saya terima kalau sampai rendang ini "dicuri" begitu saja?
Kontribusi Saya Melestarikan Budaya Lewat Tulisan yang Sarat Pembelajaran
Foto ilustrasi: diolah menggunakan Canva |
Sebelumnya saya mengira bahwa peran saya melestarikan budaya hanya sekadar menjaga etika saat berkunjung ke situs-situs budaya. Kalau ingin lebih, paling hanya mendokumentasikan beberapa sisi cagar budaya atau cekrek-cekrek makanan khas daerah yang kebetulan saya makan, lalu mengunggahnya di media sosial. Sesekali saya ceritakan pula di blog pribadi. Boleh juga lah menganggap sedikit cerita saya tentang tradisi Minang kepada teman di perantauan yang kebetulan bertanya, sebagai salah satu peluang pelestarian.
Memang langkah-langkah kecil tersebut sering menjadi himbauan berbagai pihak sebagai cara efektif untuk melestarikaan budaya di zaman yang serba digital saat ini.
Namun ternyata, saya bisa berkontribusi lebih dari itu!
Awalnya saya sedikit ragu. Melihat flyer nulis bareng buku antologi yang mewajibkan para penulisnya memasukkan unsur budaya dalam cerita. Kalau bukan karena akan sebuku dengan Kirana Kejora, writerpreneur yang sukses dengan buku-buku fiksinya yang terus mempromosikan budaya Indonesia, bahkan beberapa diantaranya sudah diangkat ke layar lebar, mungkin saya tak memantapkan diri untuk ikut. Kapan lagi sebuku dengan beliau? Ya, saat itu memang inilah yang menjadi dasar semangat saya.
Ajaibnya, setelah mengikuti kelasnya, proses penulisannya, hingga akhirnya buku itu berada dalam genggaman, ada rasa cinta yang mulai tumbuh akan budaya, terutama budaya Minang yang ditonjolkan dalam dua cerpen saya. Pertama tentang pernikahan satu suku dan yang kedua adalah kesenian Randai. Pernahkah teman-teman mendengarnya?
Tahu apa bagian tersulit bagi saya selama penulisan naskah? Riset. Saya pikir, saya sudah cukup paham dengan apa itu larangan pernikahan satu suku karena hal tersebut sudah menjadi aturan yang tak asing. Saya juga pernah menyaksikan langsung kesenian Randai saat masih kecil. Menyangka bahwa pengalaman ini cukup sebagai bekal, ternyata membuat saya nyaris kehilangan akal.
Misalnya pernikahan sesuku. Minimal akan ada dua suku yang dibahas, siapa datuak pemimpin sukunya yang pasti akan berbeda di masing-masing suku, di mana latar belakang cerita sebagai tempat yang penduduknya mayoritas bersuku tersebut. Kalau Randai, banyak istilah dalam tariannya, pemerannya, unsur-unsur dan maknanya. Salah tulis, pasti fatal akibat yang akan saya terima.
Untuk pertama kalinya saya sadar bahwa saya orang Minang tulen, tapi tak begitu paham dengan budaya Minang. Jujur, saya malu.
Ketika berada jauh dari kampung halaman, tidak mudah mencari sumber riset. Makin mustahil untuk terjun langsung ke lokasi saat rencana mudik masih lama. Cara tercepat, ya bertanya. Tapi tetap saja tak banyak yang tahu. Jangankan di Jakarta, domisili saya sekarang, di Padang saja, sudah tak banyak yang mengerti betul tentang budaya Minang. Bukan asal menyimpulkan, terbukti saat saya menghubungi teman dan keluarga di sana, hampir semua tak bisa memberi informasi. Sama lah dengan saya, hanya mengetahui kulit luarnya saja. Untung ada satu kawan yang lumayan membantu, itu pun harus bertanya dulu ke orang tuanya yang kebetulan baru diangkat menjadi datuak.
Lalu, apa yang saya lakukan? Tentu saja memanfaatkan internet!
IndiHome yang terpasang di rumah saya itu menjadi penyelamat yang paling berjasa dalam proses riset yang saya lakukan. Bisa dibilang 90% informasi yang dimasukkan dalam naskah, bersumber dari hasil berselancar di internet.
Bagaimana cara saya melakukannya?
Baca kelanjutannya ya, Bestie. Bermanfaat sekali nih bagi yang ingin riset soal budaya untuk menulis atau keperluan lainnya, tapi tak memungkinkan mengunjungi langsung lokasinya.
Riset Budaya Melalui Internet dengan 3 Langkah Ini
Enggak banyak kok, cuma tiga. Yang banyak itu referensinya. Tidak mungkin hanya dari satu artikel saja, lalu semua kebutuhan informasi terpenuhi. Walaupun artikel terswbut sudah menuliskan semua apa yang kita cari, tetap harus didukung oleh sumber-sumber lain agar lebih lengkap dan pasti.
Contohnya saat saya riset kemarin tentang pernikahan sesuku, ada artikel yang menamakannya sebagai pernikahan Sadatuak Sapayuang, namun mayoritas artikel, termasuk di website berita lokal, malah tertera Sasuku Sapayuang. Jelas yang lebih mayoritas yang diambil. Makanya penting sekali menggali dari berbagai sumber.
Langsung saja, berikut tiga cara yang saya lakukan selama proses riset dengan mengandalkan internet, dalam menulis antologi cerpen roman budaya dengan dua karya cerita.
1. Cari Sumber Tulisan Tepercaya
Tidak sedikit tulisan yang muncul di depan mata ketika mengetik satu kata kunci di mesin pencari. Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua tulisan tersebut bisa dijadikan sumber referensi, apalagi untuk sesuatu yang sifatnya sensitif seperti budaya. Agar dapat dipastikan kebenarannya dan ada penanggungjawabnya, pilihlah situs pemerintah, lembaga legal dan berita yang sudah dijamin reputasinya. Walau mungkin masih banyak situs lain yang menyampaikan informasi secara benar, saya hanya memilih situs-situs tersebut. Biar aman dan sudah jelas tepercaya.
Selain artikel website, terdapat juga e-journal dan e-book. Diperlukan pula data-data statistik atau hasil survei yang biasanya terangkum dalam format laporan. Jadi masih saya kategorikan sebagai sumber tulisan. Pastikan juga yang mengumpulkan data, mengadakan survei dan penerbit laporannya adalah pihak-pihak yang jelas secara legalitas.
Untuk penulisan naskah saya kemarin, sumber tulisan digital paling banyak dipakai untuk menggali informasi yang tidak mungkin saya dapatkan dari hanya melihatnya atau segala sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan tulisan. Seperti istilah, pengertian, makna dari unsur-unsur dalam sebuah budaya, dendangan, suara alat musik, irama atau sejarah budaya tersebut. Sedangkan yang bersifat visual atau suara-suara tersebut, saya mendapatkannya melalui dua cara yang setelah ini akan kita bahas.
2. Amati Visual dan Dengarkan Suara Melalui YouTube
Saat saya mencari video perihal budaya, khususnya dari pernikahan sesuku di Minang dan Randai, channel teratas dan hampir semua yang muncul justru dari pribadi, sekolah atau komunitas. Paling besar hanya dari channel stasiun televisi nasional yang menampilkan live streaming acara Randai.
Karena hal inilah, saya hanya berani menjadikan setiap video YouTube yang ditonton sebagai referensi visual dan suara. Jelas yang paling banyak saya dapatkan adalah untuk riset Randai, karena dengan menyaksikan pertunjukan walau dari layar, tampak jelas bagaimana prosesnya, pakaiannya, tariannya dan alat musiknya. Saya pun bisa mendengar alunan alat musik, dendangan dan pukulan celana para pemain. Sedangkan untuk pernikahan sesuku, saya lebih banyak mempelajari latar belakang daerah yang akan saya angkat, yaitu daerah Solok. Saya lihat rekaman orang-orang yang kebetulan pernah berada di sana dan mendokumentasikannya. Bagaimana perkampungannya, apakah ada tugu ikon di daerah tersebut yang menarik untuk dimasukkan dalam cerita, hingga gaya berbusana masyarakatnya.
3. Perkuat dengan Google Maps
Seperti saat saya ingin mengenalkan Tugu Ayam Kukuak Balenggek di daerah Arosuka, Solok. Saya memang pernah beberapa kali melewatinya. Tapi hanya lewat, tidak ada satupun yang terekam dalam ingatan. Ketika Google Maps memberi gambaran secara jelas kondisi sekeliling di sana, saya bisa melihat tikungan jalan tepat di depan tugu, ramainya pedagang dan sedikit taman disekitar tugu. Saya juga bisa membaca tulisan yang terukir, bahwa tugu ini diresmikan tahun 2005 oleh Bupati Solok, Bapak Gamawan Fauzi.
Berkat riset online ini, saya bisa mengganti proses wawancara melalui membaca artikel online, e-journal atau e-book. Saya berhasil terbang ke lokasi secara virtual tanpa harus beranjak dari tempat duduk. Riset dengan mengandalkan internet ini jugalah yang membawa saya bisa menghasilkan karya sekaligus melestarikan budaya.
Beruntungnya lagi, di proses menulis buku ini, semua kontributor diajarkan pula bagaimana mempromosikan buku melalui konten-konten menarik yang bisa diunggah di berbagai media sosial. Karya kami semua di buku ini, cerita dari puluhan penulis yang mengangkat budaya dari seluruh provinsi Indonesia akan semakin luas mengudara.
Nah, lagi-lagi manfaat internet yang bekerja.
Beruntung sekali selama riset, IndiHome selalu stabil, cepat dan mumpuni untuk saya searching, streaming dan putar-putar foto di Google Maps sesukanya. Kalau sudah sepraktis ini, mau menulis cerpen atau mungkin novel suatu saat nanti, dengan mengangkat kekayaan budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bisa saja riset dari rumah kalau belum bisa berkunjung langsung.
Sekarang bukan hanya buku yang menyandang gelar jendela dunia, internet pun bisa menjadi jendela dunia baru yang dapat memberi gambaran lebih lengkap dan hidup.
Internetnya Indonesia untuk Budaya Indonesia
Sumber foto: indihome.co.id |
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan internet sudah memasuki banyak lini kehidupan. Apalagi sejak pandemi, digitalisasi semakin dipercepat. Semua beralih ke digital, entah itu untuk memberi informasi, mencari informasi, mengolah data, berkomunikasi, hingga bertransaksi.
Kebudayaan yang identik dengan tradisional pun juga nyatanya butuh digitalisasi. Data-data digital tentang budaya Indonesia sudah banyak yang bisa diakses untuk kepentingan bersama. Begitu pula fitur-fitur, aplikasi atau platform lain yang bisa dimanfaatkan untuk mempelajari keanekaragaman budaya kita. Bahkan Google saja mendukung loh pelestarian budaya Indonesia, yaitu dengan adanya fitur translate ke bahasa Jawa. Sudah tahu belum? Coba saja, pilih yang bahasa Javanese.
Kalau bicara soal digitalisasi, kualitas jaringan internet jadi penentu. Seperti IndiHome yang saya ceritakan tadi, yang selama riset tetap cepat dan stabil. Coba kalau tidak, boro-boro mau jadi buku, naskah saya pasti tidak akan jadi.
FYI, kualitas internet IndiHome ini tentu tidak terlepas dari inovasi-inovasinya yang terus mengupayakan pemerataan internet ngebut di seluruh Indonesia. Jadi, tujuan utama digitalisasi untuk mempercepat dan mempraktiskan segala tugas bisa tercapai.
Per Maret 2022 ini, layanan IndiHome sudah menjangkau 498 dari total 514 ibukota, kabupaten dan kota (IKK) di Indonesia, termasuk di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). -telkom.co.id
Tidak berlebihan rasanya mengatakan IndiHome sebagai Internetnya Indonesia bila sudah menjangkau sejauh ini.
Modem IndiHome tak pernah mati, selalu menjadi saksi digitalisasi ala saya dan keluarga |
Soal kecepatan yang saya nikmati, bahkan untuk streaming sering-sering yang tidak pernah buffering, sesuai dengan peningkatan throughput atau bandwith aktual yang terukur mencapai 102%, serta penurunan rata-rata latency menjadi 2,0 milisecond (ms). Latency ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan suatu data sampai ke tujuan. Bayangkan, cuma 2 ms! Makanya cepat.
Selain itu, IndiHome telah meningkatkan rasio Upload dan Download (UL:DL) menjadi 1:3, yang sebelumnya berada di rasio 1:5. Sehingga kecepatan unduh dan unggah sudah semakin setara. Cocok sekali mendukung digitalisasi data budaya yang perlu banyak menggunggah dokumentasi, informasi atau data-data lain yang diperlukan. Jadi bukan download saja yang cepat, padahal butuh proses upload dulu sebelumnya agar data tersebut bisa di-download. Benar, 'kan?
Nah, kalau ingin membuktikan sendiri manfaat internet melalui layanan fixed broadband milik Telkom Indonesia ini, bisa memilih paket terbarunya, yaitu Paket Bebas Tanpa Batas atau Paket Buy Your Own Device (BYOD) dan Paket Pembayaran di Depan (PDD). Pelanggan yang memilih paket BYOD, akan diberi perangkat resmi dari Telkom, sedangkan untuk paket PDD akan mendapat diskon sampai 30%. Kemudian terdapat juga paket IndiHome voucher, yang cocok untuk mahasiswa dan teman-teman yang ingin harga lebih bersahabat. Pokoknya semua kalangan bisa riset budaya online dengan berbagai pilihan cara menikmati internet dari IndiHome.
Bila kecepatan internet dirasa masih kurang sesuai, IndiHome menghadirkan Higher Speed Same Price (HSSP) agar konsumen dapat menikmati penyesuaian kecepatan internet tanpa ada biaya tambahan, alias gratis!
Tapi, kalau sedang tidak berada di rumah gimana? Kan IndiHome internet rumah? Tenang. Kini IndiHome telah bersinergi dengan Telkomsel yang terwujud dalam IndiHome Halo, IndiHome Orbit dan IndiHome+. Sehingga internetan di rumah maupun di luar rumah menjadi lebih mudah. Kalau pun mesti pergi ke luar karena urusan tertentu, tetap bisa melanjutkan riset dan cari tahu tentang budaya.
Eits masih ada lagi. Butuh yang lebih untuk sumber inspirasi menulis? Inovasi terbaru IndiHome yang mengusung konsep Window of Entertainment, menyajikan layanan TV Interaktif, Minipack Channel TV, add-on, 10 OTT partner diantaranya Disney+Hotstar, Vision+, VIU, CATCHPLAY+, MOLA, Vidio, WeTV, Lionsgate Play, HBO Go, dan Gameqoo. IndiHome juga memiliki jumlah channel terbanyak yang mencapai 238 channel untuk pelanggan. Banyak informasi dan ide yang bisa digali dari sini. Manfaatkan!
***
Dari pengalaman saya berkontribusi melestarikan budaya melalui tulisan yang ditunjang dengan internet ini, semakin membuka mata bahwa internet dapat menjadi gerbang banyak cabang untuk melakukan aktivitas dan kreativitas yang tak ada batasnya. Saya ibu rumah tangga, di rumah saja dan sulit sekali bila harus bergerak sana-sini. Tapi tetap bisa menghasilkan karya sekaligus menjaga budaya!
Dulu yang dianggap sulit atau tak mungkin, bisa terwujud berkat internet.
Saya mendapat informasi nulis bareng dari media sosial. Proses menulis naskah hingga buku terbit, berjalan secara virtual. Belajar juga secara online tanpa mengurangi makna dan ilmunya. Yang paling penting, riset budaya sangat memungkinkan dilakukan tanpa ke mana-mana. Siapa sangka, dari Jakarta, saya bisa ke tugu Ayam Kukuak Balenggek malam-malam untuk keperluan riset sambil sesekali melirik anak yang sudah terlelap tidur? Tidak masalah fisik nyata tak di sana, yang penting kebutuhan informasi untuk naskah terpenuhi.
Yuk, sama-sama kita cari peran dalam pelestarian budaya. Ingat, kita semua punya peran dan bisa berperan. Tidak perlu langsung melakukan pergerakan besar, karena pasti terasa sulit. Mulai dulu saja dari apa yang biasa dilakukan.
Hobi foto-foto, dokumentasikan cagar budaya, lalu promosikan karya.
Suka bikin konten video, review makanan khas daerah yang disuka, lalu unggah.
Atau punya hobi sama seperti saya yang suka nulis, boleh banget ikut nulis buku atau ceritakan tradisi daerah asal masing-masing dalam platform menulis yang sering dipakai.
Internetnya Indonesia siap mendukung setiap cara unik kita untuk memberi yang terbaik kepada negeri ini.
________
Referensi:
telkom.co.id
indihome.co.id
kemdikbud.go.id
Statistik Kebudayaan 2021 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
https://news.detik.com/berita/d-6019917/reog-hingga-rendang-ini-14-warisan-budaya-ri-mau-diakui-malaysia
No comments
Sebelum komentar, login ke akun Google dulu ya teman-teman. Jangan ada "unknown" diantara kita. Pastikan ada namanya, biar bisa saling kenal :)