Alhamdulillah, buku Sang Mistikus Kasih sudah Open Pre-Order (PO) tahap kedua!
“Begini, Nak Tan. Adat kita melarang keras menikah sesuku dan kami masih memegangnya sampai sekarang. Dalam kondisi ini, kalian satu Datuak yang berarti satu pemimpin kaum, istilahnya Sasuku-Sapayuang. Nenek Nak Tan dan Kirai mungkin berbeda, makanya sebelum ini tidak mengenal satu sama lain. Lebih-lebih bila merantau. Kembali lagi, kenyataan bahwa kalian berdua sadatuak sudah cukup menjadi alasan Bapak dan Ibu tidak merestui. Kalian masih bersaudara dan hukum melanggarnya sangatlah berat.”
- Kasih Sadatuak Sapayuang -
Sepenggal percakapan dari cerpen yang saya tulis dalam buku antologi Sang Mistikus Kasih ini, memampangkan dengan jelas sebuah konflik hubungan percintaan yang berkaitan dengan adat atau tradisi. Ya, negara kita memiliki kekayaan budaya yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya.
Indonesia dengan keberagaman budayanya sudah menjadi ciri khas yang sering disanjung banyak negara dunia. Macam budaya ini sering kita saksikan dalam bentuk upacara adat, pakaian adat, rumah adat, alat musik tradisional, lagu, senjata, kerajinan, bahkan peninggalan bersejarah seperti candi atau situs peninggalan sejarah. Itu yang terlihat, ada juga hukum adat, tradisi atau kepercayaan tertentu yang diwariskan turun temurun.
Namun sayangnya, keberadaan budaya semakin terkikis oleh zaman. Generasi baru yang tumbuh dalam cepatnya perkembangan teknologi, serta mulai banyaknya pengaruh gaya hidup masa kini yang dianggap lebih modern, menjadi alasan kenapa eksistensi budaya yang seharusnya menjadi jati diri kita sebagai rakyat Indonesia ini semakin meredup.
Bagi saya, hadirnya antologi Sang Mistikus Kasih dapat menjadi jalan untuk menyalakan kembali budaya Indonesia melalui cerpen roman yang ringan. Sehingga lebih banyak budaya yang dikenal oleh pembaca. Bukan hanya satu, puluhan budaya Indonesia akan pembaca ketahui dari buku ini.
SANG MISTIKUS KASIH, Nikmati Roman dengan Latar Belakang Budaya
"Jalan ini, dulu dipergunakan orang-orang kerajaan dan masyarakat Galuh sebagai jalan penghubung Kerajaan Galuh dengan Kerajaaan Majapahit di abad ke tiga belas. Situs-situs ini memang hanya batu, membisu. Namun, sebenarnya bicara dan bisa mendengar."
- Hedy Rahadian & Kirana Kejora dalam judul Amanat Pagi di Karangkamulyan -
Sang Mistikus Kasih berisi 46 roman budaya yang ditulis oleh 47 penulis. Saya sebagai salah satu penulis, merasakan betul bahwa apa yang ditulis bukan hanya sekadar mengandalkan kemampuan berimajinasi, berdiksi atau bertutur. Namun harus ada riset yang kuat sebelum berani menuangkannya dalam naskah. Bagaimanapun, budaya menyangkut kehidupan masyarakat yang bersifat sensitif. Salah menulis, mungkin saja ada risiko besar menanti.
Kenapa Sang Mistikus Kasih saya nilai sebagai bacaan ringan?
Ini karena genre romannya. Tidak perlu berpikir keras atau memecahkan teka-teki tertentu. Pokoknya tinggal ikuti dan nikmati saja alurnya. Genre roman menjadi salah satu genre favorit yang banyak digemari berbagai kalangan. Tidak heran sih, karena sifat dasar manusia yang memiliki rasa cinta dan tidak dipungkiri juga akan terwujud dalam sebuah pengalaman percintaan. Makanya, pembaca jadi mudah terbawa dalam suasana cerita. Setiap judul sangat menarik untuk dibaca.
Alasan berikutnya, karena dikemas berupa antologi. Masing-masing judulnya akan menyuguhkan cerita berbeda yang terlepas satu sama lain. Intro, konflik dan ending bisa diselesaikan dalam sekali baca. Buat mereka yang punya keterbatasan waktu untuk membaca, dijamin cocok sekali. Jadi tidak ada rasa penasaran menggantung yang sering membuat lupa diri dan bablas membaca hingga berjam-jam. Misalnya emak-emak seperti saya dengan dua anak kecil di rumah, memungkinkan sekali membaca satu atau dua judul cerpen setiap mencuri waktu me time yang biasanya hanya beberapa menit.
Kenapa membaca Sang Mistikus Kasih saya anggap sebagai cara asik menambah wawasan?
Ya, memang asik. Melalui buku ini, pembaca akan mendapatkan ilmu yang mungkin sulit didapat bila hanya mengandalkan pengalaman pribadi. Tidak semua orang bisa leluasa mengunjungi banyak daerah di Indonesia dan mempelajari budayanya. Melalui buku Sang Mistikus Kasih, pembaca bisa mendapat gambaran atau penjelasan yang indah tentang budaya-budaya tersebut di depan mata tanpa harus ke mana-mana.
Saat sekolah dulu, saya selalu mengidamkan buku mata pelajaran Sejarah berbentuk cerita fiksi. Entah kenapa saya selalu kesulitan menghafal materinya. Makanya, hampir mustahil bila saya akan mempelajari budaya Indonesia yang begitu banyak ragamnya dari materi-materi yang hanya berupa pernyataan. Tidak menyangka, di usia yang sudah memasuki kepala tiga, saya bisa menikmati serunya menambah wawasan melalui membaca sebuah antologi roman budaya. Jadi lebih cepat tersimpan di memori otak.
Semakin kita mengenal keberagaman budaya Indonesia, tentu akan semakin tinggi pula rasa tolerasi kita untuk saling menghargai dan memberi ruang. Semakin banyak kita mengetahui budaya bangasa ini, tentu sudah terwariskan pula budaya tersebut. Bahkan terbuka pula peluang untuk kita memperkenalkannya ke orang-orang di sekitar.
Pengalaman Riset yang Hampir Membuat Menyerah
"Ah, saya tahu kok budaya yang ada di daerah saya."
Yakin? Sebelum menulis naskah untuk buku ini, saya juga mengungkapkan hal yang sama. Dengan percaya diri mendaftarkan nama, untuk ikut menulis antologi roman budaya karena sudah mempunyai rencana akan menulis apa.
Setelah itu bagaimana? Jauh dari ekspektasi. Ketika benar-benar mulai menulis, saya kebingungan. Larangan pernikahan sesuku yang hendak saya angkat, ternyata tidak benar-benar saya pahami. Hanya sebatas kulit luarnya saja! Padahal saya lahir dan besar di Sumatera Barat. Namun, pengetahuan saya begitu dangkal tentang kebudayaannya.
Saya buta akan nama-nama datuak untuk suku tertentu dan di daerah mana suku-suku tersebut berdomisili. Tidak mungkin saya asal mengarang. Sedangkan setiap suku pasti punya rumah gadang masing-masing, pemimpin kaum masing-masing dan pastinya kampung halaman masing-masing. Naskah saya tidak akan pernah selesai bila intinya saja belum diketahui.
Riset. Tentu ini yang harus saya lakukan. Mbak Key, panggilan Mbak Kirana Kejora, berulang kali menekankan bahwa sebelum menulis harus dimulai dengan riset yang baik. Baik yang menurut saya harus lengkap, benar dan sesuai fakta. Sumbernya harus jelas dan tepercaya. Dan kala itu, perpustakaan, mewawancarai atau mendatangi langsung lokasi adalah cara yang paling direkomendasikan. Sedangkan saya hanya bisa mengandalkan wawancara tanpa bisa bertatap muka. Saya punya banyak kenalan dan keluarga yang orang Minang tulen. Merekalah harapan terbesar saya.
Namun, lagi-lagi sesuatu yang saya kira mudah, malah membuat nyaris menyerah.
Hampir semua kenalan yang saya tanya, juga hanya sebatas mengetahui kulit luar larangan pernikahan sesuku. Rata-rata memang seumuran dengan saya, dan berupaya membantu dengan bertanya kepada orang tua mereka yang dianggap lebih mengerti. Namun ketika mendengarkan penjelasan dari sosok yang benar-benar terlibat dalam adat, saya malah semakin bingung dengan penjelasan yang terlalu kental akan adat. Bahkan banyak kata atau istilah yang sangat asing di telinga.
Lalu, apa yang menyelamatkan? Tiba-tiba ingatan akan cerita sahabat SMA terlintas. Dia pernah cerita, tidak akan pernah bisa menikah dengan teman dekat laki-lakinya karena satu suku. Benar saja, setelah menghubungi, saya akhirnya mendapatkan penjelasan yang mudah dimengerti dan tepat sekali dengan apa yang dibutuhkan. Ditambah beberapa artikel dari Internet, lengkaplah apa yang selama ini dicari.
Riset yang membuat saya stres hingga berminggu-minggu. Sedangkan menulisnya, hanya butuh dua hari.
Proses ini sengaja saya ceritakan bukan tanpa alasan. Saya ingin menyampaikan pesan bahwa redupnya kebudayaan bangsa ini bukanlah omong kosong. Sesulit itu saya menemukan sumber yang benar-benar bisa memberikan penjelasan tepat sasaran. Jangan ditanya bagaimana upaya saya menggalinya melalui media online. Tak satu pun yang memberi informasi secara detail. Tidak ada menyebutkan suku apa, nama datuak-nya siapa dan daerahnya di mana. Sama saja, sebatas kulit luarnya.
Satu-satunya pengetahuan baru yang saya dapat dari media online adalah tingakatan pernikahan sesuku di Minagkabau. Mulai dari yang paling berat, yaitu satu suku, satu datuak dan satu nenek. Lalu, tingkatan yang kedua adalah pernikahan sadatuak-sapayuang yang berarti satu suku namun berbeda nenek. Ada lagi di bawahnya dengan hubungan kekerabatan yang lebih jauh.
Sebanyak itu wawasan saya bertambah untuk satu aturan adat.
Berkat proses menulis inilah saya belajar banyak tentang pernikahan sesuku dari kampung halaman saya. Ada rasa malu ketika saya menyadari bahwa adat yang harusnya saya wariskan ke anak-anak, malah secuilnya saja yang saya tahu. Malah sebelumnya terlalu percaya diri menganggap mengerti. Bahkan seperempatnya saja tidak.
***
Nah, dengan membaca Sang Mistikus Kasih, pembaca tidak akan diribetkan lagi dengan proses riset yang panjang. Biarlah itu urusan penulis saja. Pembaca bisa dengan mudah menjelajahi kekayaan budaya nusantara melalui kisah-kisah roman yang ringan dibaca. Bacanya santai, bisa sekalian refreshing, tambah wawasan pula!
Kalau bukan kita-kita yang mewarisi budaya nusantara dan mempertahankan nyalanya untuk tetap menjadi jati diri bangsa, siapa lagi?
Mumpung masih masa PO yang kedua, nih. Cuma sampai tanggal 10 Maret 2022. Yuk, segera pesan antologi cerpen roman budaya Sang Mistikus Kasih. Jika berminat, silakan klik tombol di bawah ini untuk order by WhatsApp, ya.
Pesan Buku Sang Mistikus Kasih
Selamat membaca dan berkeliling Indonesia dengan mengenali keberagaman budayanya! Nanti boleh banget membagi kesan atau review singkat setelah membaca Sang Mistikus Kasih di kolom komentar.
Terima kasih ulasan prises nulisnya Mbak Nov..
ReplyDeleteGambaran prosesnya lengkap banget. Riset dan data memang sangat penting untuk mendukung tulisan yang baik. Meski fiksi, tetap harus menjaga fakta dan data.
Makasih juga sudah mampir, Mbak.
DeleteBetul banget, setujuuuu. Risetnya sama aja kayak nulis non fiksi ternyata. Aku pun baru tau. Alhamdulillah banget ikutan antologi Sang Mistikus Kasih.
Kalau ada proyek antologi kayak gini lagi, aku mau bangeeett 😍
Ulasan yang menarik saya suka membacanya. Riset buruh perjuangan.
ReplyDelete