Pagi ini, untuk kesekian kalinya, aku dan suami cek cok karena penyebab yang sama, yaitu susahnya Byan makan. Lah kok bisa? Begini kronologinya. Waktu makan merupakan suatu hal yang paling bikin aku deg-degan, takut, cemas berlebih, stres dan galau. Tidak, tidak berlebihan kok, tapi memang itu lah yang aku rasakan. Mungkin begitu juga yang dirasakan Byan karena setiap kali aku mengajaknya makan dan mengambil piring dari rak, dia selalu histeris dan menolak makan. Sering kali sesi makan ini membuat aku marah, kesal dan tidak bisa mengendalikan diri yang berakhir keluarnya bentakan dan teriakan dari mulit ini. Padahal aku tahu, aku paham dan sangat sering membaca bahwa memaksa anak makan bukan lah sebuah solusi untuk membuat mereka mau makan, yang ada malah semakin menolak untuk makan. Tapi apa daya, karena kekurangan yang ada dalam diri ini, aku masih tetap saja memarahinya agar makan dengan cepat dan menghabiskan makanannya. Aku hanya ingin Byan sehat, tercukupi gizinya dan baik pertumbuhannya. Hanya itu, tidak ada tawar menawar lagi dengan ini. Pernah dua hari aku membiarkan dia makan sesukanya, yang ada malah tidak makan sama sekali kecuali coklat dan biskuit saja. Ternyata benar saja, Byan langsung flu dan batuk setelahnya. Sejak saat itu aku harus memastikan Byan makan dengan baik dan cukup.
Nah ditengah amarah yang memuncak ini, kadang suami merasa tidak nyaman sekaligus kasihan melihat reaksi Byan yang dimarahi dan makan dengan keterpaksaan. Tanpa sengaja dia berguman "Berisik" sambil menggendong bayiku yang menangis karena juga merasa terganggu dengan intonasi keras yang terus saja aku ucapkan. Detik itu juga aku langsung teriak "Ya udah, nggak usah disini kalau nggak mau berisik". Dan masih diikuti dengan kalimat-kalimat lain yang sepertinya keluar begitu saja tanpa tersaring otak. Melihat aku semakin tak terkendali, suami langsung memeluk dan meminta maaf. Tapi namanya hati, butuh waktu untuk normal kembali. Untuk beberapa saat aku seperti orang kesurupan, bermenung dengan tatapan kosong tak berujung. Walaupun tubuh masih bergerak mengerjakan sesuatu, tapi pikiranku tidak. Hasilnya apa? Aku seperti orang linglung yang memaksakan diri untuk bekerja. Tidak ada satupun hasilnya yang beres. Bahkan untuk berpakaian saja aku sampai bolak balik beberapa kali ke kamar karena setibanya di dalam kamar aku lupa mau melakukan apa dan akhirnya keluar lagi.
Itu contoh kecil dari pengelolaan diri dan emosi yang buruk selama aku menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Aku lebih gampang stres, gampang marah, lebih sensitif dan menyikapi sesuatunya secara berlebihan. Aku tahu dan aku sadar akan hal itu. Walaupun sudah berbagai cara aku lakukan untuk bisa menjaga kewarasan ini, tapi tetap saja terkadang aku tidak bisa mengendalikannya. Banyak tips yang sudah aku tulis di blog ini untuk menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan berumah tangga mulai dari berpikir positif kepada suami, menghadapi anak yang susah makan, bahkan tips mengendalikan emosi pun sudah pernah aku tulis dan aku praktekkan. Bisa dibaca di Tips Mengelola Emosi saat Menghadapi Anak yang Mulai Bertingkah, Pentingnya Menyesuaikan Diri dengan Suami, Tips Menghadapi Anak yang Makannya Diemut , dan masih banyak lagi. Tapi apa daya, namanya manusia yang masih banyak kekurangan, tetap saja aku sering menunjukkan gejala ketidakwarasan. Hanya sekedar untuk inhale-exhale menenangkan diri saja aku bisa lupa.
Sebagai manusia mungil yang masih belum bisa apa-apa dan belum mengerti apa-apa, terpaksa menjadi korban utama dan tersering dari kekhilafan ibunya. Sekali lagi, aku tahu dan aku paham kalau memarahi, membentak dan memukul anak bukanlah suatu hal yang baik. Dalam keadaan normal seperti ini, aku bisa mengganggap itu adalah sebuah perbuatan keji yang tidak layak dilakukan oleh ibu manapun. Tidak bisa tergambarkan betapa menyesalnya dan sakitnya aku setelah satu bentakan terucap dari mulut ini. Sangat menyiksa hati dan pikiran, tapi tetap diulang. Aku tersakiti dan anakku juga tersakiti. Masalah yang menyebabkan amarah memuncak belum tentu bisa terselesaikan. Hhh, tindakan yang hanya bikin rugi.
Anak tidak butuh ibu yang cantik, wangi, jago masak, jenius, kaya atau apa pun sebagai deskripsi kesempurnaan. Aku masih tetap dipeluk walaupun belum mandi seharian, aku masih dibilang cantik walaupun gendut, kusam, jerawatan dan berantakan dan aku masih disayang walaupun masakanku kadang tidak disukai.
Aku sering memperhatikan gelagat anak-anakku ketika aku sedang dalam suasana hati yang buruk. Mereka akan terlihat semakin rewel dan lebih sering merengek, baik anakku yang pertama maupun anak bayiku yang kedua. Sekuat itu lah ikatan batin antara ibu dan anak, apa yang dirasakan ibu, entah dengan cara apa dan bagaimana, anak akan merasakannya. Apa karena berubahnya tingkah laku ibu makanya tingkah laku anak juga berubah? Walaupun dengan berpura-pura baik pun mereka tetap bisa merasakan bahwa aku sebenarnya tidak dalam keadaan baik. Sebegitu bersihnya hati mereka, anak-anakku.
Sebaliknya, jika aku dalam keadaan bahagia, tidak ada masalah dan beban yang dipikirkan, anak-anak juga terlihat lebih tenang dan asik bermain tanpa banyak meminta ini itu. Aku pun juga akan lebih kalem, lebih ikhlas dan melihat segala sesuatunya dari sisi yang positif. Tidak ada satu hal pun yang dirasa perlu dimarahi, semuanya sudah kehendak Tuhan. Aku lebih enjoy dalam menjalani hari. Hati senang, pekerjaan beres, anak pun ceria. Malahan bukan cuma anak yang merasakan kenyamanan, tapi sang suami juga. Sebagai korban kedua yang menerima amukan ibu, suami juga pastinya akan ikut menderita jika sang istri sering emosi tak terkendali. Menjadi ibu yang bahagia menjadi kunci utama dalam kebahagaian kehidupan keluarga.
Karena dengan bahagia inilah aku bisa menjalankan peranku dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Dan dalam menciptakan suasana hati ibu yang bahagia tentunya peran suami sangatlah penting, karena dialah orang terdekat dari ibu. Satu bentakan saja dari suami mampu meruntuhkan semua pertahanan istri, tapi satu saja pujian kecil yang terucap dari suami mampu membangun banteng pertahanan sekuat baja dalam diri istri. Sebagai tambahan ilmu, mungkin bisa mampir ke beberapa tulisanku sebelumnya yaitu 5 Hal yang Bisa Dilakukan Ayah agar Bunda Bahagia dan Suami adalah "Dunia" Istrinya.
Selain peran suami, mencari kegiatan "me time" yang ampuh untuk meredam stres juga tidak boleh dilupakan. Hanya mengandalkan peran suami tanpa berusaha sendiri mengobati diri sama saja bohong. Sebagai referensi mencari kegiatan "me time" bisa berkunjung ke "Me Time" tanpa Harus Meninggalkan Mereka dan Aku Memilih Menulis sebagai "Me time" Terbaik. Selain itu bersyukur akan keadaan juga bisa menenangkan hati yang sering lupa akan nikmat Ilahi. Selalu mengeluh hanya akan merebut kebahagiaan yang kita miliki. Secara lengkapnya sudah aku bahas dalam tulisanku beberapa waktu lalu yaitu Bersyukur itu Menentramkan.
Maaf ya kebanyak link, soanya kalau diceritakan full disini pasti bikin sakit mata buat bacanya, kepanjangan. Silahkan mengacak-ngacak blogku tersayang ini ya.
Semoga bermanfaat dan jangan lupa bahagia :)
Itu contoh kecil dari pengelolaan diri dan emosi yang buruk selama aku menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Aku lebih gampang stres, gampang marah, lebih sensitif dan menyikapi sesuatunya secara berlebihan. Aku tahu dan aku sadar akan hal itu. Walaupun sudah berbagai cara aku lakukan untuk bisa menjaga kewarasan ini, tapi tetap saja terkadang aku tidak bisa mengendalikannya. Banyak tips yang sudah aku tulis di blog ini untuk menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan berumah tangga mulai dari berpikir positif kepada suami, menghadapi anak yang susah makan, bahkan tips mengendalikan emosi pun sudah pernah aku tulis dan aku praktekkan. Bisa dibaca di Tips Mengelola Emosi saat Menghadapi Anak yang Mulai Bertingkah, Pentingnya Menyesuaikan Diri dengan Suami, Tips Menghadapi Anak yang Makannya Diemut , dan masih banyak lagi. Tapi apa daya, namanya manusia yang masih banyak kekurangan, tetap saja aku sering menunjukkan gejala ketidakwarasan. Hanya sekedar untuk inhale-exhale menenangkan diri saja aku bisa lupa.
Lalu siapa yang jadi korban? Anak.
Sebagai manusia mungil yang masih belum bisa apa-apa dan belum mengerti apa-apa, terpaksa menjadi korban utama dan tersering dari kekhilafan ibunya. Sekali lagi, aku tahu dan aku paham kalau memarahi, membentak dan memukul anak bukanlah suatu hal yang baik. Dalam keadaan normal seperti ini, aku bisa mengganggap itu adalah sebuah perbuatan keji yang tidak layak dilakukan oleh ibu manapun. Tidak bisa tergambarkan betapa menyesalnya dan sakitnya aku setelah satu bentakan terucap dari mulut ini. Sangat menyiksa hati dan pikiran, tapi tetap diulang. Aku tersakiti dan anakku juga tersakiti. Masalah yang menyebabkan amarah memuncak belum tentu bisa terselesaikan. Hhh, tindakan yang hanya bikin rugi.
Tapi kenapa terus diulang?
Alasannya satu,
karena aku tidak waras di saat itu.
Anak tidak butuh ibu yang cantik, wangi, jago masak, jenius, kaya atau apa pun sebagai deskripsi kesempurnaan. Aku masih tetap dipeluk walaupun belum mandi seharian, aku masih dibilang cantik walaupun gendut, kusam, jerawatan dan berantakan dan aku masih disayang walaupun masakanku kadang tidak disukai.
Mereka hanya butuh ibu yang bahagia,
karena dengan bahagia
semuanya akan berjalan dengan baik.
Aku sering memperhatikan gelagat anak-anakku ketika aku sedang dalam suasana hati yang buruk. Mereka akan terlihat semakin rewel dan lebih sering merengek, baik anakku yang pertama maupun anak bayiku yang kedua. Sekuat itu lah ikatan batin antara ibu dan anak, apa yang dirasakan ibu, entah dengan cara apa dan bagaimana, anak akan merasakannya. Apa karena berubahnya tingkah laku ibu makanya tingkah laku anak juga berubah? Walaupun dengan berpura-pura baik pun mereka tetap bisa merasakan bahwa aku sebenarnya tidak dalam keadaan baik. Sebegitu bersihnya hati mereka, anak-anakku.
Sebaliknya, jika aku dalam keadaan bahagia, tidak ada masalah dan beban yang dipikirkan, anak-anak juga terlihat lebih tenang dan asik bermain tanpa banyak meminta ini itu. Aku pun juga akan lebih kalem, lebih ikhlas dan melihat segala sesuatunya dari sisi yang positif. Tidak ada satu hal pun yang dirasa perlu dimarahi, semuanya sudah kehendak Tuhan. Aku lebih enjoy dalam menjalani hari. Hati senang, pekerjaan beres, anak pun ceria. Malahan bukan cuma anak yang merasakan kenyamanan, tapi sang suami juga. Sebagai korban kedua yang menerima amukan ibu, suami juga pastinya akan ikut menderita jika sang istri sering emosi tak terkendali. Menjadi ibu yang bahagia menjadi kunci utama dalam kebahagaian kehidupan keluarga.
Menurutku, hal paling sederhana
yang bisa aku lakukan sebagai bukti
bahwa aku sangat mencintai
setiap manusia dalam keluargaku ini
adalah memastikan diri
agar selalu merasa bahagia.
Karena dengan bahagia inilah aku bisa menjalankan peranku dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Dan dalam menciptakan suasana hati ibu yang bahagia tentunya peran suami sangatlah penting, karena dialah orang terdekat dari ibu. Satu bentakan saja dari suami mampu meruntuhkan semua pertahanan istri, tapi satu saja pujian kecil yang terucap dari suami mampu membangun banteng pertahanan sekuat baja dalam diri istri. Sebagai tambahan ilmu, mungkin bisa mampir ke beberapa tulisanku sebelumnya yaitu 5 Hal yang Bisa Dilakukan Ayah agar Bunda Bahagia dan Suami adalah "Dunia" Istrinya.
Selain peran suami, mencari kegiatan "me time" yang ampuh untuk meredam stres juga tidak boleh dilupakan. Hanya mengandalkan peran suami tanpa berusaha sendiri mengobati diri sama saja bohong. Sebagai referensi mencari kegiatan "me time" bisa berkunjung ke "Me Time" tanpa Harus Meninggalkan Mereka dan Aku Memilih Menulis sebagai "Me time" Terbaik. Selain itu bersyukur akan keadaan juga bisa menenangkan hati yang sering lupa akan nikmat Ilahi. Selalu mengeluh hanya akan merebut kebahagiaan yang kita miliki. Secara lengkapnya sudah aku bahas dalam tulisanku beberapa waktu lalu yaitu Bersyukur itu Menentramkan.
Maaf ya kebanyak link, soanya kalau diceritakan full disini pasti bikin sakit mata buat bacanya, kepanjangan. Silahkan mengacak-ngacak blogku tersayang ini ya.
Semoga bermanfaat dan jangan lupa bahagia :)
Seringkali setelah marah sama anak, aku jadi menyesal. Kenapa nggak dibikin enjoy aja. Duh...apalagi kalau melihat wajah innocent mereka, akupun meleleh. Maka, ibu mesti bahagia.
ReplyDeleteIya aku juga mba, padahal habis dimarahin anaknya biasa aja, kitanya yang luka batin. Tapi entah kenapa tetap juga diulang, padahal udah tau dampak buruknya apa.
DeleteBetul, kita sebagai ibu harus berusaha keras mencari cara agar tetap bahagia agar semuanya aman terkendali.
saya kalau mau marah sama suami di kamar. Nggak keluar jadi ngomong apa marah apa anak2 gak ada yg tau.
ReplyDeleteiya memang yang paling baik begitu mba. Jangan sampai berantem sama suami di depan anak-anak.
Deleteaku sering nyesel kalonudh marah2in anak2 :(. bener sih mba, sbnrnya supaya keluarga happy itu, resepnya memang hrs ibunya dulu yg bahagia. dijamin semuanya bakal damai jaya :). tapi memang banyak suami yg kurang ngerti kalo istrinya butuh metime. aku bersyukur suamiku termasuk yg ngizinin aku ngelakuin me time favoritku, traveling. kdg kalo dia bisa, pasti nemenin aku jalan. tp kalo jdwalnya bentrok, dia izinin aku utk pergi bareng temen2.
ReplyDeletewalopun kdg msh aja ttp kelepasan marah ke anak, trutama abis pulang kantor, masih capek, dan mereka rewel. karena kalo malam babysitternya jg udh selesai jam kerjanya. disitu sempet aku ngomel marahin mereka. tp mudian nyesel sendiri -_-..
Bersyukur banget ya mba punya suami pengertian. Alhamdulillah suamiku juga sering bantuin apa saja yang dia bisa biar pekerjaanku makin ringan.
DeleteSama mba, huhuhu. Sudah sering nyesal tapi kok ya kita ngulang-ngulang terus ya marahin anak. Aku tuh berasa kayak kesurupan, kayak hilang kesadaran kalau lagi marahin anak, lupa seketika sama prinsip kesabaran yang selama ini pengen banget diterapin. Tapi semoga kita bisa menjadi ibu yang lebih penyabar lagi ya mba 😊. Terus belajar jadi lebih baik 💪